Monday, May 10, 2010

THE HANDSOME STEVE

Saat itu bulan Februari tahun 2003. Aku sedang mengandung anak keduaku. Aku sangat berharap yang lahir kali ini anak laki-laki. Untuk itu aku tak lupa membaca do’a agar dikaruniai anak lelaki setiap sehabis shalat. Bukannya aku tak mensyukuri anugrah yang diberikan Yang Maha Kuasa, namun sepertinya akan terasa semakin lengkap keluarga ini bila aku melahirkan anak laki-laki yang bisa menjaga ibu dan kakaknya bila ia besar nanti.

Selama masa kehamilanku yang kedua ini, aku mempunyai satu hobi unik yang sempat membuat suamiku jengkel. Aku senang sekali melihat wajah pria-pria tampan yang ada di media cetak, media elektronik, dan di kehidupan nyata. Kalau sudah melihat satu pemandangan yang indah itu, aku bisa menghabiskan waktu bermenit-menit menatapnya. Kalau hanya melihat di majalah atau televisimungkin tak jadi soal. Tapi kalau dalam keseharian aku juga melakukannya pada pada pria yang kebetulan lewat di depanku, tentulah menjadi persoalan yang tak lagi sepele. Orang yang kupandangi bisa saja merasa risih dan curiga akan kewarasanku, walaupun setelah melihat perut yang membuncit ini mereka akan segera memakluminya. Dan suamiku tentunya juga tak kalah risih menemaniku di tempat-tempat umum.

Aku sebetulnya sangat menyadari hal ini, tapi mau bagaimana lagi. Cara berpikir wanita yang sedang mengandung lebih dipengaruhi oleh hormon ketimbang logika. Jadi ya, jalani sajalah.

Rupanya Dewi fortuna memang tak mau beranjak jauh dariku. Rumah tingkat di samping rumahku disewa oleh sebuah rumah produksi untuk syuting sebuah sinetron remaja selama dua minggu. Hatiku gembira bukan main saat si empunya rumah mengatakan bahwa sinetron ini memasang seorang bintang wanita dan tiga orang pemain pria muda yang sedang menanjak namanya sebagai pemain utama. Aku yakin, sebagai pemain utama, ketiga pria muda ini pastilah berada di lokasi syuting seharian. Pasti akan kumanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.

Karena jarang mengikuti perkembangan sinetron dan infotainment – aku lebih suka menonton acara musik – aku sempat kesulitan mengenali para pemain utama di produksi sinetron ini. Yang aku tahu ada seorang pria bule berwajah tampan dengan alis tebal bertaut – tipe alis favoritku – yang telah menarik perhatianku sejak hari pertama kedatangannya di lokasi syuting ini. Dari bisik-bisik tetangga yang kudengar, aku pastikan namanya Steve Immanuel. Pada kurun waktu 2003 – 2005, Steve merupakan salah satu pemain muda yang cukup terkenal dan laris membintangi beberapa judul sinetron. Saat itu pun ia masih membujang dan belum hidup bersama dengan Andi Soraya (akhirnya aku mengikuti perkembangan infotainment untuk mencari informasi tentang Steve).

Dilihat dari jauh melalui jendela kamarku, Steve terlihat sangat cute, tapi bila dilihat dari dekat, dia tampak jauh lebih tampan. Sayangnya pengamanan lokasi syuting tampaknya terlalu ketat. Para crew tak mengijinkan siapa pun yang tidak terlibat dalam produksi untuk memasuki lokasi syuting. Pada wanita hamil yang memelas ini pun mereka tidak menaruh iba. Jadi aku harus cukup puas melihatnya dari jauh sambil mengelus perut yang semakin membuncit ini, seraya berharap bahwa anakku terlahir sama tampannya dengan Steve Immanuel.

Sejak saat itupun aku mulai menghentikan kebiasaanku staring at the goodlooking guys di majalah dan televisi. Aku lebih memilih berkonsentrasi menatap Steve agar wajah anakku yang akan lahir ini semakin mirip dengannya. Suamiku juga mulai terbiasa dengan kebiasaan anehku dan memilih tidak berkomentar tentang hal ini.

Tak dinyana, Dewi Fortuna memang selalu menaungiku. Suatu malam suamiku pulang agak larut. Kebetulan pulsa ponselku habis, dan aku tak sabar menunggu suamiku pulang untuk membelikannya. Tanpa menunggu, kuputuskan untuk membelinya di salah satu kios penjual pulsa dekat rumahku. Saat melewati rumah tetanggaku, sayup – sayup kudengar suara canda tawa kru dan pemain yang bersiap – siap pulang dari lokasi syuting. Aku berharap mungkin saja ini kesempatanku untuk melihat wajah Steve dari dekat. Toh syuting sudah usai, penjagaan pastilah tidak seketat siang tadi. Aku pun dengan percaya diri bertanya pada salah satu pegawai sekuriti apakah mereka melihat Steve Immanuel di rumah itu. Betapa kecewanya aku saat mendengar bahwa Steve baru saja pergi lima menit yang lalu. Ah …. Kalau saja aku memutuskan pergi lebih awal, pasti aku bisa bertemu dengan Steve. Hatiku kesal sekali, aku pun segera beranjak menuju kios pulsa, kembali ke tujuanku semula.

Masih dengan hati jengkel aku pulang setelah membeli pulsa yang kubutuhkan. Saat melewati tikungan jalan yang temaram ketika menuju rumah, aku berpapasan dengan seorang pria yang sepertinya sedang tergesa-gesa. Kami sempat bertubrukan, dan itu membuat bagian perutku terasa sedikit sakit akibat benturan. Dipengaruhi oleh rasa sakit dan ditambah kejengkelan yang belum hilang, aku segera memaki pria tak tahu diri itu. Berani – beraninya ia menabrak seorang wanita hamil yang sedang marah. Pasti ia tidak menyadari apa yang sedang dihadapinya.

Pria itu meminta maaf dengan logat yang sedikit bernuansa asing. Hatiku terkesiap. Segera kutarik lengan bajunya kearah yang lebih terang. Demi Tuhan! Dugaanku benar. Pria ini memang Steve Immanuel yang kucari-cari itu. Rela rasanya ditabrak berulang kali kalau yang menabrak makhluk setampan ini. Steve memegang kedua belah tanganku seraya mengucapkan kata “I’m Sorry” paling merdu yang pernah kudengar seumur hidupku. Dia pun berjanji untuk mampir ke rumahku esok pagi setelah mengetahui bahwa aku tinggal di sebelah rumah lokasi syutingnya. Aku pun terpana sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa dia sudah berpamitan dan meninggalkanku.

Setiba di rumah aku tak sanggup menahan senyum yang terkembang di wajah ini. Suamiku yang rupanya sudah tiba di rumah keheranan melihatku senyum – senyum sendiri. Aku pun segera menceritakan hal indah yang baru saja terjadi padaku sambil tersenyum, tentu saja. Sepertinya syaraf dan otot diwajahku sudah terpaten dalam bentuk senyum merekah.

Keesokan harinya Steve tidak jadi datang. Rupanya ia kurang sehat sehingga bergegas pulang semalam. Tapi tak mengapa. Aku tidak merasa kecewa atau sedih, toh kedua tangan ini sudah pernah berada dalam genggamannya.

Di bulan Maret tahun 2003 aku melahirkan seorang bayi yang sehat. Mau tahu jenis kelaminnya? Ternyata dia perempuan. Wajahnya tak ada sedikitpun mirip dengan Steve. Tapi hal ini tak mengurangi kebahagianku. Rupanya penyakit aneh, dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah cinta imajiner, hanya merupakan salah satu fase yang umumnya dialami para wanita hamil. Dan hal itu sama sekali tidak berlanjut setelah kehamilan berakhir. Malah aku dan suami sering tertawa geli mengingat kekonyolanku selama mengandung.

2 comments:

busono.adi said...

biasanya orang ngidam kepingin yg asem2 ... knp ini ngidam orang ganteng yaks???

Kamboja Merah Muda said...

biar dpt yg ganteng jg .... hehe