Monday, May 10, 2010

UPSET!!

Ponselku terdengar berdering berkali – kali. Dengan malas kuletakkan alat setrika dan kuhempaskan baju ketiga yang ingin kulicinkan. Huf …. kuhela nafas panjang. Aku benci bila pekerjaanku terganggu. Itu berarti aku tertunda menyelesaikan tugas rumah tangga berikutnya, padahal masih ada setumpuk pekerjaan yang harus kulakukan.

“Hallo,” terdengar suara mas Dedi di ujung sana.

“Ya, mas, ada apa?”

“Sepertinya aku pulang agak telat, banyak pekerjaan, besok pagi ada meeting dan berkasku harus selesai malam ini juga.”

Tanpa menjawab kututup telepon dan kuhempaskan benda itu ke sofa disampingku. Kudengar ponsel itu berdering beberapa kali, tetapi aku tidak beranjak dari tempatku. Ini sudah keterlaluan! Umpatku dalam hati. Dalam satu minggu sudah empat kali mas Dedi pulang lewat jam sebelas malam. Kantor macam apa yang buka sampai selarut itu. Toh dia tidak bekerja di gerai 24 jam. Dalam hati aku berjanji, aku harus bicara dengan mas Dedi malam ini, aku sudah tidak tahan lagi. Sudah saatnya aku mengambil sikap, aku bukan satpam penunggu rumah yang harus membukakan pintu untuknya setiap malam dengan senyum manis yang tetap tersungging di wajah. Aku juga bukan superwoman yang mampu setiap hari bangun jam 5 pagi, mencuci, memasak, memandikan dan menyuapi anak-anak, mengantarkan mereka sekolah, membersihkan rumah, mengepel, menyambut suami pulang malam, dan di puncak keletihanku, melayani suami!

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Baru satu jam lagi mas Dedi pulang. Kedua putra kami sudah terlelap di kamarnya. Tugas rumah tanggaku sudah selesai sejak sore tadi. Tak tau harus melakukan apa, kuputuskan menyalakan tv, menonton sinetron dan mulai berkhayal tentang pernikahanku.

Saat kami menikah tujuh tahun yang lalu aku memimpikan perkawinan yang indah dan sempurna. Memiliki anak-anak yang manis, karier yang cemerlang, dan seks yang menggebu sepanjang masa. Tapi kenyataan kadang tak semanis harapan. Di tahun ke enam perkawinan kami, aku dihadapkan pada dua pilihan yang sulit; karier atau keluarga. Saat pekerjaanku membutuhkan perhatian dan waktu yang lebih intens, aku harus menghadapi kenyataan bahwa keputusanku menyerahkan kedua putraku sepenuhnya di bawah asuhan pembantu tanpa disertai pengawasan yang ketat, ternyata membawa dampak yang mengerikan. Mungkin terdengar seperti hiperbola, tapi aku jujur. Ibu mana yang tidak miris hatinya bila melihat anak-anaknya tumbuh dengan tubuh kurus (yang bahkan oleh dokter dicap sebagai anak dengan gizi buruk!), rentan penyakit, dan bermasalah di sekolah. Apa artinya materi berlebih yang kuhasilkan tiap bulan bila separuh dari penghasilan itu habis untuk biaya berobat. Belum lagi kesulitan yang kualami untuk berkomunikasi dengan kedua putraku karena mereka lebih memilih untuk bicara dengan mbok Tumi daripada denganku, ibunya. Ah …. Mengapa begitu sulit menjadi seorang ibu rumah tangga yang berkerja. Haruskah seorang ibu memilih? Tidak bisakah kami memiliki kedua-duanya? Apakah sudah menjadi kodrat seorang wanita untuk hidup hanya seputar sumur, dapur dan kasur? Bagaimana dengan eksistensi diri? Bagaimana dengan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri? Bagaimana dengan kehausan untuk belajar dan memperoleh ilmu? Apa artinya mencari ilmu sampai ke negeri Cina kalau pada akhirnya kita harus mengorbankan segalanya demi utuhnya sebuah keluarga. Sering aku membaca di tabloid atau majalah wanita tentang para ibu yang tidak hanya sukses di bidangnya tapi sukses juga membangun keluarga yang utuh dan bahagia. Tak urung, terbersit di benakku, benarkah mereka sesempurna itu? Tidakkah mereka menghadapi masalah seperti yang kuhadapi? Apa rahasia kehidupan yang mereka ketahui dan aku tidak?

Sejuta pertanyaan masih menyelimuti pikiranku saat aku tersadar bel pintu berdentang berkali-kali. Mas Dedi sudah pulang. Dengan wajah murung dan setengah mengantuk kubukakan pintu untuknya. Heran dengan sambutanku yang dingin, mas Dedi bertanya,” Ada apa? Marah ya .. Maaf ya aku pulangnya kemalaman, cuma hari ini aja kok, besok juga normal lagi.” Belum sempat menjawab, bulir-bulir air mata seketika mengalir di pipiku, membuat tenggorokanku tercekat dan sulit bicara. Melihatku menangis, mas Dedi memelukku, erat sekali. Dengan lembut disandarkannya kepalaku di dadanya, dada dimana selalu kutemukan kedamaian dan ketenangan saat sejuta masalah menimpaku.

Aku merasa malu pada diriku sendiri. Sejak memutuskan berhenti dari pekerjaan, dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya aku seringkali merasa curiga pada suamiku. Mungkinkah mas Dedi sering pulang larut malam karena ada wanita lain yang lebih dipilihnya untuk menghabiskan waktu bersama? Bisa saja mas Dedi mengarang berbagai alasan untuk menemui wanita itu, banyak pekerjaan lah, ada meeting lah, ada gathering dengan klien lah, dan alasan klasik lainnya seperti yang sering kulihat di sinetron kacangan. Namun, mungkinkah mas Dedi selingkuh kalau sentuhan dan perhatian yang kudapatkan darinya saat ini sama persis dengan sentuhan dan perhatiannya sembilan tahun lalu, di awal pernikahan kami. Tak ada yang berubah dari dirinya, kecuali intensitas pertemuan dan komunikasi kami yang semakin berkurang karena kesibukannya. Di luar itu, sama sekali tak ada yang berubah.

Perlahan aku menyadari bahwa yang kurasakan selama ini bukanlah rasa cemburu. Ini hanyalah perwujudan dari keegoisanku. Aku merasa iri karena mas Dedi masih bisa bekerja dengan tenang sementara aku tidak. Mas Dedi bisa mengaktualisasikan diri dan aku sebaliknya. Mas Dedi bisa bertemu banyak orang, menambah wawasan dan bertukar pikiran dengan mereka sementara aku bergulat dengan rutinitas rumah tangga yang tak ada habisnya. Mau tidak mau aku harus mengakui. Inilah yang sesungguhnya kurasakan.

Tanpa sadar, segala keresahan terungkap dari bibirku. Segala hal yang selama ini kurasa menyesakkan dada meluncur keluar lewat untaian kata. Semua rasa kesal ini, rasa kecewa, keinginanku untuk kembali menunjukkan eksistensi diriku sebagai seorang wanita terucap pada mas Dedi.

Dengan lembut, mas Dedi mengelus rambutku, dan berkata, “Sayang, aku tidak pernah melarang kamu bekerja, tapi tolong jangan saat ini, mungkin sekitar dua atau tiga tahun lagi, saat anak-anak sudah cukup mandiri untuk ditinggal.” Aku terdiam, hanya isakan tangisku yang sesekali terdengar. “Baiklah, aku akan coba mengurangi kesibukanku, minggu depan aku ambil cuti, kita liburan ke Jogja, bagaimana?” Mas Dedi berusaha membujukku. “Nggak perlu ambil cuti, aku cuma ingin kamu pulang lebih awal, mas. Bisa tidak jam tujuh malam kamu sudah di rumah?” desakku. “ Ya, aku janji, mulai besok aku pulang lebih awal.” Kukatakan pada mas Dedi bahwa anak-anak juga butuh perhatian dari ayahnya. Membesarkan anak adalah tugas kedua orang tua, bukan hanya salah satu pihak.

Malam itu berlalu dengan damai, tanpa ada pertengkaran. Akhirnya aku bisa bicara dari hati ke hati dengan suamiku. Kuhargai usaha mas Dedi yang walaupun terkantuk–kantuk, masih meladeni keinginanku berdiskusi. Saat itu aku merasa beruntung memiliki suami yang ekstra sabar seperti mas Dedi.

****

Kring…. Kring. Ponselku berdering lagi untuk yang kesekian kali. Bergegas kutinggalkan gelas kotor yang sedang kubersihkan ke dalam bak cucian. “Ya mas, ada apa?” “Sayang, nanti aku pulang agak malam, biasa, selesai proyek bos mengajak gathering …” Belum selesai mas Dedi bicara, kututup telepon dan kali ini kulempar ponsel itu ke dinding. Ponsel itu hancur berkeping-keping bersamaan dengan hancurnya hatiku.

1 comment:

busono.adi said...

another good story ...