Monday, May 10, 2010

GADIS PENGAMEN


Jam menunjukkan pukul tiga sore. Sudah tiba waktunya menjemput putriku yang sedang latihan basket di sekolahnya. Cuaca tampak mendung, sepertinya awan sudah tak kuat menahan titik-titik air diperutnya dan seolah tak sabar untuk menumpahkan air itu ke bumi. Tak urung mendung ini membuatku segan memanaskan motor guna menjemput putriku, karena kalau hujan benar-benar turun, bisa kupastikan jalanan menjadi sangat licin dan menyebabkan motor sulit untuk dikendalikan. Belum lagi kalau ada lubang di tengah jalan yang tak terlihat karena dipenuhi air hujan, bisa jadi sangat berbahaya bagi keselamatan pengendara. Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk berjalan keluar komplek dan naik kendaraan angkutan umum, yang lazim disebut angkot.

Tak lama sebuah angkot lewat didepanku. Aku segera mengacungkan jari telunjuk untuk menghentikannya. Saat akan menaikinya, aku sempat dilanda keraguan. Ada seorang gadis kecil yang sedang duduk di depan pintu angkot dan mengamen di sana. Gadis itu sempat menghalangi jalanku, untunglah si sopir angkot menegurnya untuk sedikit menepi, memberiku jalan masuk.

Entah karena kesal padaku, atau pada sopir angkot, atau keduanya, gadis kecil itu terlihat marah. Namun ia tak mengucapkan apa-apa dan segera melanjutkan nyanyiannya yang terputus. Rasa ingin tahu yang sulit dibendung segera merasuki benakku. Kedua mataku mulai tertuju padanya. Perlahan aku mulai mengamati gadis kecil itu dengan seksama.

Dari cara bicara dan sikap yang ditunjukkannya, aku menarik kesimpulan usianya berkisar antara enam sampai tujuh tahun walaupun harus kuakui tubuhnya terlalu kecil untuk anak seusia itu. Cara bicaranya lantang dan berani, hasil dari didikan jalanan yang keras dan tak kenal kasihan. Bajunya lusuh dan terlihat robek di beberapa bagian. Ia menyandang sebuah gitar kecil di bahunya. Gitar itupun sama lusuhnya dengan sang pemilik.

Gadis itu ternyata tidak sendirian. Ia ditemani seorang bocah laki-laki yang tak kalah lusuh dan kumalnya dari si gadis. Aku mengira usianya sekitar dua tahun karena ia bisa berjalan cukup lancar dan bisa mengucapkan beberapa patah kata dengan cukup jelas, walaupun, lagi-lagi, tubuhnya terlalu mungil untuk bocah seusianya. Anak laki-laki itu bertugas membantu si gadis kecil – kukira itu kakaknya – membagikan amplop kepada para penumpang sambil berharap mereka mengisinya dengan selembar uang kertas seribuan, atau recehan pun cukuplah. Anak lelaki itu tampak terhuyung-huyung berdiri di dalam mobil yang sedang berjalan, dan ia pun sempat terjatuh beberapa kali. Seorang ibu gendut yang duduk di pojok berusaha menolongnya duduk kembali. Sambil memegangi tangan si anak lelaki, ibu itu meminta si gadis kecil agar menyuruh adiknya berhenti membagikan amplop dan duduk dengan tenang. Si ibu itupun sempat berkata kepada beberapa penumpang lainnya – termasuk aku – agar tidak memberikan uang kepada kedua anak itu karena dirasa tidak mendidik. Akupun setuju dengan pendapat si ibu, karena menurutku berapa pun uang yang kami berikan, tak akan membuat si gadis kecil dan adiknya berhenti mengamen.

Tak dinyana si gadis kecil itu membalas perkataan ibu gendut dengan kata-kata yang pedas dan tidak pantas didengar. Kata-kata yang tak pernah kukira akan meluncur keluar dari bibir mungil seorang gadis kecil. Bahkan putriku yang berusia delapan tahun saja tak pernah berpikir untuk berkata seperti itu, mimpi pun tidak. Si ibu gendut yang juga sama terkejutnya seperti aku berusaha menasehati si gadis kecil. Tampak si ibu berusaha keras menahan amarahnya karena dikurangajari oleh seseorang yang berusia kurang dari seperempat umurnya. Ibu dan gadis kecil itu terlibat dalam perang mulut, sementara sang adik tampak keheranan melihat kakaknya tampak begitu beringas.

Cacian dan makian kotor yang terlontar dari bibir si gadis tak ayal membuat penumpang lain marah. Bahkan sopir pun menghentikan kendaraannya dan mengusir gadis itu keluar. Masya Allah, kehidupan macam apa yang dialami anak-anak itu sampai mereka bisa sekasar ini. Saat mobil mulai berjalan kembali, aku dan para penumpang lainnya masih sempat mendengar lanjutan sumpah serapahnya. Dan saat kami melihat ke arahnya melalui kaca belakang mobil, kami melihat pemandangan yang memilukan dan mengiris hati. Gadis kecil itu memuntahkan amarahnya kepada sang adik. Tangan dan gitarnya sempat beberapa kali mendarat di tubuh adiknya yang masih kecil itu. Si adik tampak meringis kesakitan namun tak berdaya melawan kakaknya. Tanpa sadar aku menitikkan airmata melihatnya. Berberapa penumpang lainnya – termasuk si ibu gendut tadi – juga tampak menahan tangis. Betapa trenyuh hati kami melihat anak-anak yang seharusnya ceria dan polos bisa bersikap layaknya preman jalanan. Di usia yang semuda ini mereka sudah sebrutal itu, bagaimana kalau mereka dewasa nanti? Ya Allah, lindungilah mereka.

Aku sangat menyayangkan kejadian ini walaupun hal ini lebih membuka mata hatiku akan penderitaan orang lain. Anak-anak jalanan itu terbiasa hidup keras. Saling berebut dan saling menjatuhkan adalah makanan sehari-hari. Mereka terbiasa dengan keyakinan bahwa segala sesuatu tak akan bisa didapat tanpa perjuangan yang berat. Adakah cara bagi kita untuk membantu mereka? Adakah cara bagi kita untuk menyadarkan mereka bahwa mereka tidak harus hidup di bawah hukum rimba? Semoga ini bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk kita agar kita lebih mensyukuri nikmat yang diberikan Allah dan mulai menaruh lebih banyak kepedulian terhadap sesama.