Monday, May 10, 2010

SI MBAH

Si Mbah. Begitulah kami memanggilnya. Tak seorang pun di komplek ini yang tahu nama aslinya. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Perawakannya kurus dan kecil, dengan kulit keriput termakan usia. Beliau tinggal bersama putra semata wayangnya di rumah kontrakan petak yang pengap dan selalu kebocoran setiap kali hujan deras turun. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan Naryo, putra tunggalnya yang sudah berumur dan masih bujang, adalah satu-satunya anak yang hidup di antara tujuh putra putrinya yang meninggal sesaat setelah mereka dilahirkan. Tak heran bila si Mbah begitu menyayangi dan keberatan melepaskannya berumah tangga sendiri. Lagi pula wanita mana yang mau bersuamikan seorang lelaki yang masih diperlakukan seperti bayi oleh ibunya.

Aku bertemu si Mbah pertama kali saat aku membeli sebuah rumah di sebelah rumahnya. Saat itu tak ada kesan apapun yang tertanam di otakku. Bagiku ia hanyalah salah satu dari jutaan manula yang ada di Jakarta ini. Yang membedakannya mungkin hanya kekuatan fisiknya yang sepertinya tak lekang dimakan waktu. Usia boleh tua, tangan pun boleh keriput. Toh, ia masih mampu mengangkut dua ember penuh berisi air di tangannya. Dan itu tak hanya dilakukannya sekali, tapi belasan atau mungkin puluhan kali dalam sehari. Karena tak ada sumur pompa dirumahnya, sehingga ia harus memenuhi kebutuhan air sehari-harinya dengan cara menimba di sumur umum yang terletak cukup jauh dari komplek kami.

Waktu itu aku sempat bertanya dalam hati, apa tak ada orang lain yang bisa membantunya. Sempat kulihat beberapa kali sang anak bersantai-santai di satu-satunya kursi yang ada di rumah itu sambil menikmati sepiring ubi goreng dan secangkir kopi panas sementara si ibu mencuci pakaian yang bertumpuk di samping rumah sambil sesekali mengangkut air yang dibutuhkannya untuk mencuci. Ingin aku bertanya pada si anak, mas Naryo, mengapa tak terbersit sedikit rasa kasihan melihat kesibukan ibunya, namun apa daya, aku tak mau dicap sebagai perempuan usil yang sok mengurusi dan mengatur hidup orang lain.

Meskipun rasa heran tak juga hilang dari hati, aku mencoba untuk memendam rasa penasaran ini. Aku bisa saja menggali informasi dari tetangga sekitar untuk memuaskan rasa penasaran ini, toh egoku mencegahnya. Tak ada gunanya, aku yakin suatu saat jawabannya akan muncul sendiri di hadapanku.

Aku tak perlu menunggu lama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini muncul di benakku tentang bagaimana sebetulnya hubungan antara ibu dan anak yang unik ini. Mungkin buat orang lain aku terdengar seperti mengada-ada dan seolah aku tak punya pekerjaan lain selain menghabiskan waktu untuk memikirkan kehidupan orang lain. Tapi aku memang tertarik untuk mengamati perilaku orang-orang di sekitarku, mencoba untuk memahami faktor apa yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil tindakan atas suatu masalah yang dihadapinya, dan bagaimana bentuk suatu hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Berdasarkan hasil pengamatanku selama bertahun-tahun aku bisa menentukan tipe-tipe sifat dan fisik orang yang aku temui dalam kehidupanku selama 25 tahun, tapi itu akan aku bahas nanti di lain waktu.

Kembali ke kehidupan si-Mbah. Saat itu bulan Desember. Hujan turun hampir setiap hari di wilayah ini. Kadang gerimis kecil sepanjang hari, tak jarang hujan lebat disertai petir yang menyapa daerah ini. Tak heran, dalam waktu singkat beberapa rumah tampak kepayahan menahan terpaan hujan dan angin yang menderu tak henti. Termasuk rumah si-Mbah yang mulai bocor atapnya di sana sini. Letak rumahnya yang rendah menjadi sasaran potensial banjir yang menjadi langganan di wilayah ini setiap musim hujan tiba. Kesadaran manusia yang semakin berkurang atas perlunya resapan air dan membuang sampah di tempatnya menjadi faktor utama yang membuat banjir senang menyapa negara tercinta ini.

Di suatu malam yang dingin, hujan turun amat deras seperti tertumpah dari langit. Rumah si-Mbah tergenang air sampai ke lutut. Aku sempat berpikir untuk menolongnya ketika kulihat tangan-tangan keriputnya tampak kepayahan membuang berember-ember air yang menggenangi rumahnya, tapi kondisi hujan angin dan petir yang menyambar-nyambar di luar sana memadamkan semangat menolong sesama yang sempat menyala di hatiku. Kedengarannya seperti egois, tapi aku tak mungkin mengorbankan diri demi sesuatu hal yang jelas akan membawa dampak buruk bagi kesehatanku. Apalagi aku menderita sejenis alergi kulit yang biasa disebut biduran, aku tak tahu nama medisnya. Yang aku tahu, rasa gatal yang perih dan bengkak merah akan segera menghampiriku bila aku terkena hawa dingin. Penyakit ini adalah satu hal menjengkelkan yang menyebabkan aku tidak bisa berenang dan membuatku terpaksa menerima nilai 6 di rapor SMA untuk pelajaran olahraga!

Tak berapa lama terdengar ketukan berkali-kali di pintu rumahku. Dengan rasa ingin tahu yang membuncah, aku mengintip dari balik korden untuk melihat siapa yang berani bertamu di tengah malam yang sedingin disertai hujan lebat seperti ini. Dugaanku benar, ternyata si-Mbah yang mengetuk. Ia meminta tolong padaku dan suamiku sebagai tetangga terdekat untuk membantunya mengeringkan air di rumahnya. Aku rasa kekuatan tenaganya sudah mulai berkurang. Melihat kondisinya yang basah kuyup dan nampak kelelahan mau tak mau menyalakan rasa empati yang tadi sempat padam saat kuingat penyakit celaka itu. Aku dan suami segara bergegas keluar dan membantunya.

Kesibukan kami melawan banjir deras yang sepertinya tidak mau meninggalkan rumah si-Mbah membuatku lupa menanyakan keberadaan mas Naryo, putra si-Mbah satu-satunya. Setelah berjuang habis-habisan selama tiga jam kami akhirnya berhasil mengalahkan banjir yang sempat memporak-porandakan isi rumah si-Mbah. Banjir memang sudah pergi, tapi pekerjaan lain yang tak kalah menguras tenaga terbayang di pelupuk mataku. Apalagi kulihat suamiku sudah mulai menurun staminanya. Maklum, ia baru saja pulang kantor jam 8 malam tadi, dan ia belum sempat beristirahat. Berbekal rasa kemanusiaan di hati yang semakin melemah karena kelelahan, kami mencoba menyelesaikan pekerjaan membereskan barang-barang yang berserakan.

Puji Tuhan semuanya selesai beberapa saat kemudian. Aku dan suami teringat kasur empuk di rumah yang pasti akan menyambut tubuh kami yang keletihan ini untuk berbaring di atasnya. Segera kami meminta diri pada si-Mbah sambil tak lupa berjanji bahwa esok pagi kami akan membantunya membenahi atap dan genteng rumahnya yang bocor. Saat berpamitan aku teringat mas Naryo, hal ini membuatku tanpa ragu menanyakan keberadaannya pada si-Mbah. Dan jawabannya sungguh di luar perkiraanku. Aku mengira mas Naryo sedang lembur di pabrik kayu tempatnya bekerja, karena tak tampak kulihat batang hidungnya selama empat jam aku dan suami berada di rumah si-Mbah. Ternyata anak kesayangan si-Mbah itu tengah tertidur pulas di kamarnya. Si-Mbah tak tega membangunkannya, karena sang putra tersayang tampak kelelahan sepulang bekerja, walaupun sang putra tersayang ini sudah tertidur dari jam enam sore. Si-Mbah tak tega membangunkan dan menyuruh sang anak untuk membantunya, tapi beliau sangat tega meminta tetangganya-dalam hal ini aku dan suami- yang jelas-jelas tidak seharusnya bertanggung jawab untuk mengatasi kekacauan di rumahnya akibat banjir selama empat jam! Apalagi si-Mbah juga tahu kalau suamiku baru saja pulang kerja.

Dengan menahan marah dan jengkel aku berpamitan pulang. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menyemburkan amarah yang siap meledak mengingat tidak etis rasanya memarahi orang yang usianya jauh di atas kita walaupun kita memiliki cukup alasan untuk melakukannya.

Keesokan harinya aku berbagi cerita pada mbak Rosa, salah satu tetanggaku yang kurasa cukup bijak dalam bertindak dan sudah tinggal cukup lama di komplek ini, sehingga aku yakin mbak Rosa pasti tahu banyak mengenai sifat orang-orang sekitar sini dan cara menghadapinya.

Di luar dugaanku, mbak Rosa tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Alih-alih merasa prihatin, ia malah tertawa berderai-derai tanpa henti. Melihat wajahku yang tampak bingung, ia mencoba berhenti tertawa dan tampak berpikir keras mengenai kata-kata yang ingin diucapkannya padaku. Berdasarkan informasi yang berhasil aku gali dari mbak Rosa di sela-sela tawanya yang masih belum berhenti, aku menarik kesimpulan bahwa aku adalah korban si-Mbah yang kesekian. Si-Mbah memang selalu berhasil membuat oang-orang menaruh iba padanya, terutama orang yang belum kenal cukup lama dengannya. Berbekal penampilan fisik dan tutur kata yang mengibakan, si-Mbah bisa mendapatkan bantuan baik jasa maupun materi dari siapapun yang ia temui. Hampir setiap hari si-Mbah memperoleh uang dan juga makanan dari orang-orang di sekelilingnya. Apalagi saat hari Lebaran tiba, saat itu bagaikan masa panen bagi si-Mbah. Bertumpuk-tumpuk pakaian jadi, kain, kue, biskuit, buah, lauk pauk, dan tentunya uang tunai diterimanya. Tapi itu dulu, saat orang-orang belum menyadari bahwa bantuan dan keikhlasan hati mereka yang tulus dimanfaatkan oleh si-Mbah dan putranya. Terlebih lagi saat mereka tahu bahwa si-Mbah tanpa segan meminta mereka memberikan bantuan yang sesungguhnya bisa diatasi sendiri oleh putranya, seperti misalnya meminta uang untuk berobat ke dokter, membetulkan genteng bocor, mengganti bola lampu yang padam, dan berbagai hal lainnya. Dan si-Mbah selalu memberikan alasan yang sama setiap kali orang bertanya mengapa ia tidak meminta bantuan dari sang anak saja, ia tak tega sang putra tersayang melakukan pekerjaan remeh temeh setelah seharian bekerja keras di luar sana. Ia merasa bahwa orang lain harus ikut bertanggung jawab atas kesulitan hidup yang ia dan anaknya alami selama ini.

Mungkin ini hanyalah salah satu penggalan cerita kehidupan yang belum bisa aku pahami sampai saat ini. Sebagai seorang pengamat kehidupan – begitulah aku menyebut diriku – aku merasa ini adalah salah satu misteri hidup yang belum aku temukan jawabannya. Tapi kesimpulan yang aku bisa ambil dari sketsa kehidupan ini adalah bahwa seseorang bisa menjadi sangat egois untuk melindungi sesuatu yang disayanginya.

No comments: