Monday, May 10, 2010

GADIS PENGAMEN


Jam menunjukkan pukul tiga sore. Sudah tiba waktunya menjemput putriku yang sedang latihan basket di sekolahnya. Cuaca tampak mendung, sepertinya awan sudah tak kuat menahan titik-titik air diperutnya dan seolah tak sabar untuk menumpahkan air itu ke bumi. Tak urung mendung ini membuatku segan memanaskan motor guna menjemput putriku, karena kalau hujan benar-benar turun, bisa kupastikan jalanan menjadi sangat licin dan menyebabkan motor sulit untuk dikendalikan. Belum lagi kalau ada lubang di tengah jalan yang tak terlihat karena dipenuhi air hujan, bisa jadi sangat berbahaya bagi keselamatan pengendara. Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk berjalan keluar komplek dan naik kendaraan angkutan umum, yang lazim disebut angkot.

Tak lama sebuah angkot lewat didepanku. Aku segera mengacungkan jari telunjuk untuk menghentikannya. Saat akan menaikinya, aku sempat dilanda keraguan. Ada seorang gadis kecil yang sedang duduk di depan pintu angkot dan mengamen di sana. Gadis itu sempat menghalangi jalanku, untunglah si sopir angkot menegurnya untuk sedikit menepi, memberiku jalan masuk.

Entah karena kesal padaku, atau pada sopir angkot, atau keduanya, gadis kecil itu terlihat marah. Namun ia tak mengucapkan apa-apa dan segera melanjutkan nyanyiannya yang terputus. Rasa ingin tahu yang sulit dibendung segera merasuki benakku. Kedua mataku mulai tertuju padanya. Perlahan aku mulai mengamati gadis kecil itu dengan seksama.

Dari cara bicara dan sikap yang ditunjukkannya, aku menarik kesimpulan usianya berkisar antara enam sampai tujuh tahun walaupun harus kuakui tubuhnya terlalu kecil untuk anak seusia itu. Cara bicaranya lantang dan berani, hasil dari didikan jalanan yang keras dan tak kenal kasihan. Bajunya lusuh dan terlihat robek di beberapa bagian. Ia menyandang sebuah gitar kecil di bahunya. Gitar itupun sama lusuhnya dengan sang pemilik.

Gadis itu ternyata tidak sendirian. Ia ditemani seorang bocah laki-laki yang tak kalah lusuh dan kumalnya dari si gadis. Aku mengira usianya sekitar dua tahun karena ia bisa berjalan cukup lancar dan bisa mengucapkan beberapa patah kata dengan cukup jelas, walaupun, lagi-lagi, tubuhnya terlalu mungil untuk bocah seusianya. Anak laki-laki itu bertugas membantu si gadis kecil – kukira itu kakaknya – membagikan amplop kepada para penumpang sambil berharap mereka mengisinya dengan selembar uang kertas seribuan, atau recehan pun cukuplah. Anak lelaki itu tampak terhuyung-huyung berdiri di dalam mobil yang sedang berjalan, dan ia pun sempat terjatuh beberapa kali. Seorang ibu gendut yang duduk di pojok berusaha menolongnya duduk kembali. Sambil memegangi tangan si anak lelaki, ibu itu meminta si gadis kecil agar menyuruh adiknya berhenti membagikan amplop dan duduk dengan tenang. Si ibu itupun sempat berkata kepada beberapa penumpang lainnya – termasuk aku – agar tidak memberikan uang kepada kedua anak itu karena dirasa tidak mendidik. Akupun setuju dengan pendapat si ibu, karena menurutku berapa pun uang yang kami berikan, tak akan membuat si gadis kecil dan adiknya berhenti mengamen.

Tak dinyana si gadis kecil itu membalas perkataan ibu gendut dengan kata-kata yang pedas dan tidak pantas didengar. Kata-kata yang tak pernah kukira akan meluncur keluar dari bibir mungil seorang gadis kecil. Bahkan putriku yang berusia delapan tahun saja tak pernah berpikir untuk berkata seperti itu, mimpi pun tidak. Si ibu gendut yang juga sama terkejutnya seperti aku berusaha menasehati si gadis kecil. Tampak si ibu berusaha keras menahan amarahnya karena dikurangajari oleh seseorang yang berusia kurang dari seperempat umurnya. Ibu dan gadis kecil itu terlibat dalam perang mulut, sementara sang adik tampak keheranan melihat kakaknya tampak begitu beringas.

Cacian dan makian kotor yang terlontar dari bibir si gadis tak ayal membuat penumpang lain marah. Bahkan sopir pun menghentikan kendaraannya dan mengusir gadis itu keluar. Masya Allah, kehidupan macam apa yang dialami anak-anak itu sampai mereka bisa sekasar ini. Saat mobil mulai berjalan kembali, aku dan para penumpang lainnya masih sempat mendengar lanjutan sumpah serapahnya. Dan saat kami melihat ke arahnya melalui kaca belakang mobil, kami melihat pemandangan yang memilukan dan mengiris hati. Gadis kecil itu memuntahkan amarahnya kepada sang adik. Tangan dan gitarnya sempat beberapa kali mendarat di tubuh adiknya yang masih kecil itu. Si adik tampak meringis kesakitan namun tak berdaya melawan kakaknya. Tanpa sadar aku menitikkan airmata melihatnya. Berberapa penumpang lainnya – termasuk si ibu gendut tadi – juga tampak menahan tangis. Betapa trenyuh hati kami melihat anak-anak yang seharusnya ceria dan polos bisa bersikap layaknya preman jalanan. Di usia yang semuda ini mereka sudah sebrutal itu, bagaimana kalau mereka dewasa nanti? Ya Allah, lindungilah mereka.

Aku sangat menyayangkan kejadian ini walaupun hal ini lebih membuka mata hatiku akan penderitaan orang lain. Anak-anak jalanan itu terbiasa hidup keras. Saling berebut dan saling menjatuhkan adalah makanan sehari-hari. Mereka terbiasa dengan keyakinan bahwa segala sesuatu tak akan bisa didapat tanpa perjuangan yang berat. Adakah cara bagi kita untuk membantu mereka? Adakah cara bagi kita untuk menyadarkan mereka bahwa mereka tidak harus hidup di bawah hukum rimba? Semoga ini bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk kita agar kita lebih mensyukuri nikmat yang diberikan Allah dan mulai menaruh lebih banyak kepedulian terhadap sesama.

SI MBAH

Si Mbah. Begitulah kami memanggilnya. Tak seorang pun di komplek ini yang tahu nama aslinya. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Perawakannya kurus dan kecil, dengan kulit keriput termakan usia. Beliau tinggal bersama putra semata wayangnya di rumah kontrakan petak yang pengap dan selalu kebocoran setiap kali hujan deras turun. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan Naryo, putra tunggalnya yang sudah berumur dan masih bujang, adalah satu-satunya anak yang hidup di antara tujuh putra putrinya yang meninggal sesaat setelah mereka dilahirkan. Tak heran bila si Mbah begitu menyayangi dan keberatan melepaskannya berumah tangga sendiri. Lagi pula wanita mana yang mau bersuamikan seorang lelaki yang masih diperlakukan seperti bayi oleh ibunya.

Aku bertemu si Mbah pertama kali saat aku membeli sebuah rumah di sebelah rumahnya. Saat itu tak ada kesan apapun yang tertanam di otakku. Bagiku ia hanyalah salah satu dari jutaan manula yang ada di Jakarta ini. Yang membedakannya mungkin hanya kekuatan fisiknya yang sepertinya tak lekang dimakan waktu. Usia boleh tua, tangan pun boleh keriput. Toh, ia masih mampu mengangkut dua ember penuh berisi air di tangannya. Dan itu tak hanya dilakukannya sekali, tapi belasan atau mungkin puluhan kali dalam sehari. Karena tak ada sumur pompa dirumahnya, sehingga ia harus memenuhi kebutuhan air sehari-harinya dengan cara menimba di sumur umum yang terletak cukup jauh dari komplek kami.

Waktu itu aku sempat bertanya dalam hati, apa tak ada orang lain yang bisa membantunya. Sempat kulihat beberapa kali sang anak bersantai-santai di satu-satunya kursi yang ada di rumah itu sambil menikmati sepiring ubi goreng dan secangkir kopi panas sementara si ibu mencuci pakaian yang bertumpuk di samping rumah sambil sesekali mengangkut air yang dibutuhkannya untuk mencuci. Ingin aku bertanya pada si anak, mas Naryo, mengapa tak terbersit sedikit rasa kasihan melihat kesibukan ibunya, namun apa daya, aku tak mau dicap sebagai perempuan usil yang sok mengurusi dan mengatur hidup orang lain.

Meskipun rasa heran tak juga hilang dari hati, aku mencoba untuk memendam rasa penasaran ini. Aku bisa saja menggali informasi dari tetangga sekitar untuk memuaskan rasa penasaran ini, toh egoku mencegahnya. Tak ada gunanya, aku yakin suatu saat jawabannya akan muncul sendiri di hadapanku.

Aku tak perlu menunggu lama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini muncul di benakku tentang bagaimana sebetulnya hubungan antara ibu dan anak yang unik ini. Mungkin buat orang lain aku terdengar seperti mengada-ada dan seolah aku tak punya pekerjaan lain selain menghabiskan waktu untuk memikirkan kehidupan orang lain. Tapi aku memang tertarik untuk mengamati perilaku orang-orang di sekitarku, mencoba untuk memahami faktor apa yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil tindakan atas suatu masalah yang dihadapinya, dan bagaimana bentuk suatu hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Berdasarkan hasil pengamatanku selama bertahun-tahun aku bisa menentukan tipe-tipe sifat dan fisik orang yang aku temui dalam kehidupanku selama 25 tahun, tapi itu akan aku bahas nanti di lain waktu.

Kembali ke kehidupan si-Mbah. Saat itu bulan Desember. Hujan turun hampir setiap hari di wilayah ini. Kadang gerimis kecil sepanjang hari, tak jarang hujan lebat disertai petir yang menyapa daerah ini. Tak heran, dalam waktu singkat beberapa rumah tampak kepayahan menahan terpaan hujan dan angin yang menderu tak henti. Termasuk rumah si-Mbah yang mulai bocor atapnya di sana sini. Letak rumahnya yang rendah menjadi sasaran potensial banjir yang menjadi langganan di wilayah ini setiap musim hujan tiba. Kesadaran manusia yang semakin berkurang atas perlunya resapan air dan membuang sampah di tempatnya menjadi faktor utama yang membuat banjir senang menyapa negara tercinta ini.

Di suatu malam yang dingin, hujan turun amat deras seperti tertumpah dari langit. Rumah si-Mbah tergenang air sampai ke lutut. Aku sempat berpikir untuk menolongnya ketika kulihat tangan-tangan keriputnya tampak kepayahan membuang berember-ember air yang menggenangi rumahnya, tapi kondisi hujan angin dan petir yang menyambar-nyambar di luar sana memadamkan semangat menolong sesama yang sempat menyala di hatiku. Kedengarannya seperti egois, tapi aku tak mungkin mengorbankan diri demi sesuatu hal yang jelas akan membawa dampak buruk bagi kesehatanku. Apalagi aku menderita sejenis alergi kulit yang biasa disebut biduran, aku tak tahu nama medisnya. Yang aku tahu, rasa gatal yang perih dan bengkak merah akan segera menghampiriku bila aku terkena hawa dingin. Penyakit ini adalah satu hal menjengkelkan yang menyebabkan aku tidak bisa berenang dan membuatku terpaksa menerima nilai 6 di rapor SMA untuk pelajaran olahraga!

Tak berapa lama terdengar ketukan berkali-kali di pintu rumahku. Dengan rasa ingin tahu yang membuncah, aku mengintip dari balik korden untuk melihat siapa yang berani bertamu di tengah malam yang sedingin disertai hujan lebat seperti ini. Dugaanku benar, ternyata si-Mbah yang mengetuk. Ia meminta tolong padaku dan suamiku sebagai tetangga terdekat untuk membantunya mengeringkan air di rumahnya. Aku rasa kekuatan tenaganya sudah mulai berkurang. Melihat kondisinya yang basah kuyup dan nampak kelelahan mau tak mau menyalakan rasa empati yang tadi sempat padam saat kuingat penyakit celaka itu. Aku dan suami segara bergegas keluar dan membantunya.

Kesibukan kami melawan banjir deras yang sepertinya tidak mau meninggalkan rumah si-Mbah membuatku lupa menanyakan keberadaan mas Naryo, putra si-Mbah satu-satunya. Setelah berjuang habis-habisan selama tiga jam kami akhirnya berhasil mengalahkan banjir yang sempat memporak-porandakan isi rumah si-Mbah. Banjir memang sudah pergi, tapi pekerjaan lain yang tak kalah menguras tenaga terbayang di pelupuk mataku. Apalagi kulihat suamiku sudah mulai menurun staminanya. Maklum, ia baru saja pulang kantor jam 8 malam tadi, dan ia belum sempat beristirahat. Berbekal rasa kemanusiaan di hati yang semakin melemah karena kelelahan, kami mencoba menyelesaikan pekerjaan membereskan barang-barang yang berserakan.

Puji Tuhan semuanya selesai beberapa saat kemudian. Aku dan suami teringat kasur empuk di rumah yang pasti akan menyambut tubuh kami yang keletihan ini untuk berbaring di atasnya. Segera kami meminta diri pada si-Mbah sambil tak lupa berjanji bahwa esok pagi kami akan membantunya membenahi atap dan genteng rumahnya yang bocor. Saat berpamitan aku teringat mas Naryo, hal ini membuatku tanpa ragu menanyakan keberadaannya pada si-Mbah. Dan jawabannya sungguh di luar perkiraanku. Aku mengira mas Naryo sedang lembur di pabrik kayu tempatnya bekerja, karena tak tampak kulihat batang hidungnya selama empat jam aku dan suami berada di rumah si-Mbah. Ternyata anak kesayangan si-Mbah itu tengah tertidur pulas di kamarnya. Si-Mbah tak tega membangunkannya, karena sang putra tersayang tampak kelelahan sepulang bekerja, walaupun sang putra tersayang ini sudah tertidur dari jam enam sore. Si-Mbah tak tega membangunkan dan menyuruh sang anak untuk membantunya, tapi beliau sangat tega meminta tetangganya-dalam hal ini aku dan suami- yang jelas-jelas tidak seharusnya bertanggung jawab untuk mengatasi kekacauan di rumahnya akibat banjir selama empat jam! Apalagi si-Mbah juga tahu kalau suamiku baru saja pulang kerja.

Dengan menahan marah dan jengkel aku berpamitan pulang. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menyemburkan amarah yang siap meledak mengingat tidak etis rasanya memarahi orang yang usianya jauh di atas kita walaupun kita memiliki cukup alasan untuk melakukannya.

Keesokan harinya aku berbagi cerita pada mbak Rosa, salah satu tetanggaku yang kurasa cukup bijak dalam bertindak dan sudah tinggal cukup lama di komplek ini, sehingga aku yakin mbak Rosa pasti tahu banyak mengenai sifat orang-orang sekitar sini dan cara menghadapinya.

Di luar dugaanku, mbak Rosa tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Alih-alih merasa prihatin, ia malah tertawa berderai-derai tanpa henti. Melihat wajahku yang tampak bingung, ia mencoba berhenti tertawa dan tampak berpikir keras mengenai kata-kata yang ingin diucapkannya padaku. Berdasarkan informasi yang berhasil aku gali dari mbak Rosa di sela-sela tawanya yang masih belum berhenti, aku menarik kesimpulan bahwa aku adalah korban si-Mbah yang kesekian. Si-Mbah memang selalu berhasil membuat oang-orang menaruh iba padanya, terutama orang yang belum kenal cukup lama dengannya. Berbekal penampilan fisik dan tutur kata yang mengibakan, si-Mbah bisa mendapatkan bantuan baik jasa maupun materi dari siapapun yang ia temui. Hampir setiap hari si-Mbah memperoleh uang dan juga makanan dari orang-orang di sekelilingnya. Apalagi saat hari Lebaran tiba, saat itu bagaikan masa panen bagi si-Mbah. Bertumpuk-tumpuk pakaian jadi, kain, kue, biskuit, buah, lauk pauk, dan tentunya uang tunai diterimanya. Tapi itu dulu, saat orang-orang belum menyadari bahwa bantuan dan keikhlasan hati mereka yang tulus dimanfaatkan oleh si-Mbah dan putranya. Terlebih lagi saat mereka tahu bahwa si-Mbah tanpa segan meminta mereka memberikan bantuan yang sesungguhnya bisa diatasi sendiri oleh putranya, seperti misalnya meminta uang untuk berobat ke dokter, membetulkan genteng bocor, mengganti bola lampu yang padam, dan berbagai hal lainnya. Dan si-Mbah selalu memberikan alasan yang sama setiap kali orang bertanya mengapa ia tidak meminta bantuan dari sang anak saja, ia tak tega sang putra tersayang melakukan pekerjaan remeh temeh setelah seharian bekerja keras di luar sana. Ia merasa bahwa orang lain harus ikut bertanggung jawab atas kesulitan hidup yang ia dan anaknya alami selama ini.

Mungkin ini hanyalah salah satu penggalan cerita kehidupan yang belum bisa aku pahami sampai saat ini. Sebagai seorang pengamat kehidupan – begitulah aku menyebut diriku – aku merasa ini adalah salah satu misteri hidup yang belum aku temukan jawabannya. Tapi kesimpulan yang aku bisa ambil dari sketsa kehidupan ini adalah bahwa seseorang bisa menjadi sangat egois untuk melindungi sesuatu yang disayanginya.

UPSET!!

Ponselku terdengar berdering berkali – kali. Dengan malas kuletakkan alat setrika dan kuhempaskan baju ketiga yang ingin kulicinkan. Huf …. kuhela nafas panjang. Aku benci bila pekerjaanku terganggu. Itu berarti aku tertunda menyelesaikan tugas rumah tangga berikutnya, padahal masih ada setumpuk pekerjaan yang harus kulakukan.

“Hallo,” terdengar suara mas Dedi di ujung sana.

“Ya, mas, ada apa?”

“Sepertinya aku pulang agak telat, banyak pekerjaan, besok pagi ada meeting dan berkasku harus selesai malam ini juga.”

Tanpa menjawab kututup telepon dan kuhempaskan benda itu ke sofa disampingku. Kudengar ponsel itu berdering beberapa kali, tetapi aku tidak beranjak dari tempatku. Ini sudah keterlaluan! Umpatku dalam hati. Dalam satu minggu sudah empat kali mas Dedi pulang lewat jam sebelas malam. Kantor macam apa yang buka sampai selarut itu. Toh dia tidak bekerja di gerai 24 jam. Dalam hati aku berjanji, aku harus bicara dengan mas Dedi malam ini, aku sudah tidak tahan lagi. Sudah saatnya aku mengambil sikap, aku bukan satpam penunggu rumah yang harus membukakan pintu untuknya setiap malam dengan senyum manis yang tetap tersungging di wajah. Aku juga bukan superwoman yang mampu setiap hari bangun jam 5 pagi, mencuci, memasak, memandikan dan menyuapi anak-anak, mengantarkan mereka sekolah, membersihkan rumah, mengepel, menyambut suami pulang malam, dan di puncak keletihanku, melayani suami!

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Baru satu jam lagi mas Dedi pulang. Kedua putra kami sudah terlelap di kamarnya. Tugas rumah tanggaku sudah selesai sejak sore tadi. Tak tau harus melakukan apa, kuputuskan menyalakan tv, menonton sinetron dan mulai berkhayal tentang pernikahanku.

Saat kami menikah tujuh tahun yang lalu aku memimpikan perkawinan yang indah dan sempurna. Memiliki anak-anak yang manis, karier yang cemerlang, dan seks yang menggebu sepanjang masa. Tapi kenyataan kadang tak semanis harapan. Di tahun ke enam perkawinan kami, aku dihadapkan pada dua pilihan yang sulit; karier atau keluarga. Saat pekerjaanku membutuhkan perhatian dan waktu yang lebih intens, aku harus menghadapi kenyataan bahwa keputusanku menyerahkan kedua putraku sepenuhnya di bawah asuhan pembantu tanpa disertai pengawasan yang ketat, ternyata membawa dampak yang mengerikan. Mungkin terdengar seperti hiperbola, tapi aku jujur. Ibu mana yang tidak miris hatinya bila melihat anak-anaknya tumbuh dengan tubuh kurus (yang bahkan oleh dokter dicap sebagai anak dengan gizi buruk!), rentan penyakit, dan bermasalah di sekolah. Apa artinya materi berlebih yang kuhasilkan tiap bulan bila separuh dari penghasilan itu habis untuk biaya berobat. Belum lagi kesulitan yang kualami untuk berkomunikasi dengan kedua putraku karena mereka lebih memilih untuk bicara dengan mbok Tumi daripada denganku, ibunya. Ah …. Mengapa begitu sulit menjadi seorang ibu rumah tangga yang berkerja. Haruskah seorang ibu memilih? Tidak bisakah kami memiliki kedua-duanya? Apakah sudah menjadi kodrat seorang wanita untuk hidup hanya seputar sumur, dapur dan kasur? Bagaimana dengan eksistensi diri? Bagaimana dengan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri? Bagaimana dengan kehausan untuk belajar dan memperoleh ilmu? Apa artinya mencari ilmu sampai ke negeri Cina kalau pada akhirnya kita harus mengorbankan segalanya demi utuhnya sebuah keluarga. Sering aku membaca di tabloid atau majalah wanita tentang para ibu yang tidak hanya sukses di bidangnya tapi sukses juga membangun keluarga yang utuh dan bahagia. Tak urung, terbersit di benakku, benarkah mereka sesempurna itu? Tidakkah mereka menghadapi masalah seperti yang kuhadapi? Apa rahasia kehidupan yang mereka ketahui dan aku tidak?

Sejuta pertanyaan masih menyelimuti pikiranku saat aku tersadar bel pintu berdentang berkali-kali. Mas Dedi sudah pulang. Dengan wajah murung dan setengah mengantuk kubukakan pintu untuknya. Heran dengan sambutanku yang dingin, mas Dedi bertanya,” Ada apa? Marah ya .. Maaf ya aku pulangnya kemalaman, cuma hari ini aja kok, besok juga normal lagi.” Belum sempat menjawab, bulir-bulir air mata seketika mengalir di pipiku, membuat tenggorokanku tercekat dan sulit bicara. Melihatku menangis, mas Dedi memelukku, erat sekali. Dengan lembut disandarkannya kepalaku di dadanya, dada dimana selalu kutemukan kedamaian dan ketenangan saat sejuta masalah menimpaku.

Aku merasa malu pada diriku sendiri. Sejak memutuskan berhenti dari pekerjaan, dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya aku seringkali merasa curiga pada suamiku. Mungkinkah mas Dedi sering pulang larut malam karena ada wanita lain yang lebih dipilihnya untuk menghabiskan waktu bersama? Bisa saja mas Dedi mengarang berbagai alasan untuk menemui wanita itu, banyak pekerjaan lah, ada meeting lah, ada gathering dengan klien lah, dan alasan klasik lainnya seperti yang sering kulihat di sinetron kacangan. Namun, mungkinkah mas Dedi selingkuh kalau sentuhan dan perhatian yang kudapatkan darinya saat ini sama persis dengan sentuhan dan perhatiannya sembilan tahun lalu, di awal pernikahan kami. Tak ada yang berubah dari dirinya, kecuali intensitas pertemuan dan komunikasi kami yang semakin berkurang karena kesibukannya. Di luar itu, sama sekali tak ada yang berubah.

Perlahan aku menyadari bahwa yang kurasakan selama ini bukanlah rasa cemburu. Ini hanyalah perwujudan dari keegoisanku. Aku merasa iri karena mas Dedi masih bisa bekerja dengan tenang sementara aku tidak. Mas Dedi bisa mengaktualisasikan diri dan aku sebaliknya. Mas Dedi bisa bertemu banyak orang, menambah wawasan dan bertukar pikiran dengan mereka sementara aku bergulat dengan rutinitas rumah tangga yang tak ada habisnya. Mau tidak mau aku harus mengakui. Inilah yang sesungguhnya kurasakan.

Tanpa sadar, segala keresahan terungkap dari bibirku. Segala hal yang selama ini kurasa menyesakkan dada meluncur keluar lewat untaian kata. Semua rasa kesal ini, rasa kecewa, keinginanku untuk kembali menunjukkan eksistensi diriku sebagai seorang wanita terucap pada mas Dedi.

Dengan lembut, mas Dedi mengelus rambutku, dan berkata, “Sayang, aku tidak pernah melarang kamu bekerja, tapi tolong jangan saat ini, mungkin sekitar dua atau tiga tahun lagi, saat anak-anak sudah cukup mandiri untuk ditinggal.” Aku terdiam, hanya isakan tangisku yang sesekali terdengar. “Baiklah, aku akan coba mengurangi kesibukanku, minggu depan aku ambil cuti, kita liburan ke Jogja, bagaimana?” Mas Dedi berusaha membujukku. “Nggak perlu ambil cuti, aku cuma ingin kamu pulang lebih awal, mas. Bisa tidak jam tujuh malam kamu sudah di rumah?” desakku. “ Ya, aku janji, mulai besok aku pulang lebih awal.” Kukatakan pada mas Dedi bahwa anak-anak juga butuh perhatian dari ayahnya. Membesarkan anak adalah tugas kedua orang tua, bukan hanya salah satu pihak.

Malam itu berlalu dengan damai, tanpa ada pertengkaran. Akhirnya aku bisa bicara dari hati ke hati dengan suamiku. Kuhargai usaha mas Dedi yang walaupun terkantuk–kantuk, masih meladeni keinginanku berdiskusi. Saat itu aku merasa beruntung memiliki suami yang ekstra sabar seperti mas Dedi.

****

Kring…. Kring. Ponselku berdering lagi untuk yang kesekian kali. Bergegas kutinggalkan gelas kotor yang sedang kubersihkan ke dalam bak cucian. “Ya mas, ada apa?” “Sayang, nanti aku pulang agak malam, biasa, selesai proyek bos mengajak gathering …” Belum selesai mas Dedi bicara, kututup telepon dan kali ini kulempar ponsel itu ke dinding. Ponsel itu hancur berkeping-keping bersamaan dengan hancurnya hatiku.

THE HANDSOME STEVE

Saat itu bulan Februari tahun 2003. Aku sedang mengandung anak keduaku. Aku sangat berharap yang lahir kali ini anak laki-laki. Untuk itu aku tak lupa membaca do’a agar dikaruniai anak lelaki setiap sehabis shalat. Bukannya aku tak mensyukuri anugrah yang diberikan Yang Maha Kuasa, namun sepertinya akan terasa semakin lengkap keluarga ini bila aku melahirkan anak laki-laki yang bisa menjaga ibu dan kakaknya bila ia besar nanti.

Selama masa kehamilanku yang kedua ini, aku mempunyai satu hobi unik yang sempat membuat suamiku jengkel. Aku senang sekali melihat wajah pria-pria tampan yang ada di media cetak, media elektronik, dan di kehidupan nyata. Kalau sudah melihat satu pemandangan yang indah itu, aku bisa menghabiskan waktu bermenit-menit menatapnya. Kalau hanya melihat di majalah atau televisimungkin tak jadi soal. Tapi kalau dalam keseharian aku juga melakukannya pada pada pria yang kebetulan lewat di depanku, tentulah menjadi persoalan yang tak lagi sepele. Orang yang kupandangi bisa saja merasa risih dan curiga akan kewarasanku, walaupun setelah melihat perut yang membuncit ini mereka akan segera memakluminya. Dan suamiku tentunya juga tak kalah risih menemaniku di tempat-tempat umum.

Aku sebetulnya sangat menyadari hal ini, tapi mau bagaimana lagi. Cara berpikir wanita yang sedang mengandung lebih dipengaruhi oleh hormon ketimbang logika. Jadi ya, jalani sajalah.

Rupanya Dewi fortuna memang tak mau beranjak jauh dariku. Rumah tingkat di samping rumahku disewa oleh sebuah rumah produksi untuk syuting sebuah sinetron remaja selama dua minggu. Hatiku gembira bukan main saat si empunya rumah mengatakan bahwa sinetron ini memasang seorang bintang wanita dan tiga orang pemain pria muda yang sedang menanjak namanya sebagai pemain utama. Aku yakin, sebagai pemain utama, ketiga pria muda ini pastilah berada di lokasi syuting seharian. Pasti akan kumanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.

Karena jarang mengikuti perkembangan sinetron dan infotainment – aku lebih suka menonton acara musik – aku sempat kesulitan mengenali para pemain utama di produksi sinetron ini. Yang aku tahu ada seorang pria bule berwajah tampan dengan alis tebal bertaut – tipe alis favoritku – yang telah menarik perhatianku sejak hari pertama kedatangannya di lokasi syuting ini. Dari bisik-bisik tetangga yang kudengar, aku pastikan namanya Steve Immanuel. Pada kurun waktu 2003 – 2005, Steve merupakan salah satu pemain muda yang cukup terkenal dan laris membintangi beberapa judul sinetron. Saat itu pun ia masih membujang dan belum hidup bersama dengan Andi Soraya (akhirnya aku mengikuti perkembangan infotainment untuk mencari informasi tentang Steve).

Dilihat dari jauh melalui jendela kamarku, Steve terlihat sangat cute, tapi bila dilihat dari dekat, dia tampak jauh lebih tampan. Sayangnya pengamanan lokasi syuting tampaknya terlalu ketat. Para crew tak mengijinkan siapa pun yang tidak terlibat dalam produksi untuk memasuki lokasi syuting. Pada wanita hamil yang memelas ini pun mereka tidak menaruh iba. Jadi aku harus cukup puas melihatnya dari jauh sambil mengelus perut yang semakin membuncit ini, seraya berharap bahwa anakku terlahir sama tampannya dengan Steve Immanuel.

Sejak saat itupun aku mulai menghentikan kebiasaanku staring at the goodlooking guys di majalah dan televisi. Aku lebih memilih berkonsentrasi menatap Steve agar wajah anakku yang akan lahir ini semakin mirip dengannya. Suamiku juga mulai terbiasa dengan kebiasaan anehku dan memilih tidak berkomentar tentang hal ini.

Tak dinyana, Dewi Fortuna memang selalu menaungiku. Suatu malam suamiku pulang agak larut. Kebetulan pulsa ponselku habis, dan aku tak sabar menunggu suamiku pulang untuk membelikannya. Tanpa menunggu, kuputuskan untuk membelinya di salah satu kios penjual pulsa dekat rumahku. Saat melewati rumah tetanggaku, sayup – sayup kudengar suara canda tawa kru dan pemain yang bersiap – siap pulang dari lokasi syuting. Aku berharap mungkin saja ini kesempatanku untuk melihat wajah Steve dari dekat. Toh syuting sudah usai, penjagaan pastilah tidak seketat siang tadi. Aku pun dengan percaya diri bertanya pada salah satu pegawai sekuriti apakah mereka melihat Steve Immanuel di rumah itu. Betapa kecewanya aku saat mendengar bahwa Steve baru saja pergi lima menit yang lalu. Ah …. Kalau saja aku memutuskan pergi lebih awal, pasti aku bisa bertemu dengan Steve. Hatiku kesal sekali, aku pun segera beranjak menuju kios pulsa, kembali ke tujuanku semula.

Masih dengan hati jengkel aku pulang setelah membeli pulsa yang kubutuhkan. Saat melewati tikungan jalan yang temaram ketika menuju rumah, aku berpapasan dengan seorang pria yang sepertinya sedang tergesa-gesa. Kami sempat bertubrukan, dan itu membuat bagian perutku terasa sedikit sakit akibat benturan. Dipengaruhi oleh rasa sakit dan ditambah kejengkelan yang belum hilang, aku segera memaki pria tak tahu diri itu. Berani – beraninya ia menabrak seorang wanita hamil yang sedang marah. Pasti ia tidak menyadari apa yang sedang dihadapinya.

Pria itu meminta maaf dengan logat yang sedikit bernuansa asing. Hatiku terkesiap. Segera kutarik lengan bajunya kearah yang lebih terang. Demi Tuhan! Dugaanku benar. Pria ini memang Steve Immanuel yang kucari-cari itu. Rela rasanya ditabrak berulang kali kalau yang menabrak makhluk setampan ini. Steve memegang kedua belah tanganku seraya mengucapkan kata “I’m Sorry” paling merdu yang pernah kudengar seumur hidupku. Dia pun berjanji untuk mampir ke rumahku esok pagi setelah mengetahui bahwa aku tinggal di sebelah rumah lokasi syutingnya. Aku pun terpana sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa dia sudah berpamitan dan meninggalkanku.

Setiba di rumah aku tak sanggup menahan senyum yang terkembang di wajah ini. Suamiku yang rupanya sudah tiba di rumah keheranan melihatku senyum – senyum sendiri. Aku pun segera menceritakan hal indah yang baru saja terjadi padaku sambil tersenyum, tentu saja. Sepertinya syaraf dan otot diwajahku sudah terpaten dalam bentuk senyum merekah.

Keesokan harinya Steve tidak jadi datang. Rupanya ia kurang sehat sehingga bergegas pulang semalam. Tapi tak mengapa. Aku tidak merasa kecewa atau sedih, toh kedua tangan ini sudah pernah berada dalam genggamannya.

Di bulan Maret tahun 2003 aku melahirkan seorang bayi yang sehat. Mau tahu jenis kelaminnya? Ternyata dia perempuan. Wajahnya tak ada sedikitpun mirip dengan Steve. Tapi hal ini tak mengurangi kebahagianku. Rupanya penyakit aneh, dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah cinta imajiner, hanya merupakan salah satu fase yang umumnya dialami para wanita hamil. Dan hal itu sama sekali tidak berlanjut setelah kehamilan berakhir. Malah aku dan suami sering tertawa geli mengingat kekonyolanku selama mengandung.

Wednesday, May 5, 2010

Belajar Moral Dari Kelinci & Kura-Kura Ala Malaysia

Semasa kecil dulu anda pasti pernah mendengar kisah fabel mengenai lomba lari antara kancil dan kura-kura. Ternyata kisah ini juga dikenal di negara tetangga kita, Malaysia. Entah siapa yang mencontek kekayaan budaya sastra tersebut, yang pasti ada hikmah yang bisa diambil dari kisah ini.

Menariknya, tokoh kancil diganti menjadi kelinci di fabel asal negeri tetangga tersebut. Saat si kelinci dan kura-kura lomba lari, kelinci yang sombong dan underestimate terhadap kura-kura berlari sekencang mungkin dan saat ia merasa lawannya tak mungkin mampu menyusulnya, kelinci pun beristirahat di bawah pohon dan tertidur pulas karena kelelahan. Sementara kura-kura yang melihat lawannya tertidur mencoba berlari sekuat tenaga, akibatnya ... bisa ditebak, kura-kura menang dengan jujur atas usahanya sendiri dan akibat kecerobohan lawannya. Asas fairplay ala FIFA dijunjung tinggi dalam kisah ini.

Sekarang kita simak kisah ini dalam versi negara kita tercinta, Indonesia. Kura-kura yang kesal dengan kesombongan kancil mengajak kancil untuk lomba lari. Tanpa sepengetahuan kancil, kura-kura menyusun strategi dengan teman-temannya, ia menempatkan beberapa kura-kura lainnya di setiap titik sepanjang rute balapan yang akan dilaluinya. Kancil yang tidak mengetahui rencana tersebut tetap berlari dengan penuh semangat tapi apa dinyana, setiap kali ia merasa sudah mendahului kura-kura, lawannya ini selalu berada jauh di depannya. Karena kelelahan dan tak memiliki mental juara (seperti komentar di pertandingan sepak bola ..hehe), kancil pun terpaksa mengakui kehebatan lawannya. Kura-kura menang telak atas kancil dan semua ini berkat kecerdikan (atau kelicikan?)nya.

Nah ... bila kita cermati ada satu poin penting tentang nilai moral yang bisa kita petik dari kisah ini. Jujur, personally penulis merasa prihatin dengan kisah kancil & kura-kura versi kita yang pernah kita baca waktu kecil dan kita kisahkan kembali secara turun temurun pada anak cucu kita. Tanpa sadar kita diajarkan untuk menjadi pemenang dengan segala cara. Antara cerdik dan licik pun seperti tidak ada bedanya, 11 12 kata orang.

Tak heran bila setiap kali ada pertandingan sepak bola di negara kita selalu saja diikuti dengan kerusuhan para supporter yang tidak bisa menerima kekalahan tim favoritnya dengan jantan. Atau tengoklah bentrokan antar para pendukung calon pemimpin daerah. Setiap kali tokoh politik yang mereka jagokan ternyata kalah, bisa dipastikan keributan terjadi. Tak heran kita sulit menerima kemenangan atau kelebihan orang lain.

So ... para pembaca yang budiman, ada baiknya kita lebih bisa memilih kisah, cerita, atau contoh perilaku yang kita ajarkan pada generasi berikutnya. Banyak yang bilang anak sekarang lebih kritis dan berani, tentunya tanggung jawab kita untuk mendidik mental mereka bukanlah tugas yang ringan. Tak lupa penulis ingatkan, walaupun banyak kebudayaan kita yang diklaim negara tetangga kita tersebut, tak ada salahnya kita juga ikut mengambil nilai-nilai moral yang mereka terapkan. Mencintai produk dan budaya dalam negeri, serta berbesar hati atas keberuntungan orang lain merupakan dua di antaranya. Semoga suatu saat nanti masyarakat kita lebih dewasa dan tayangan berita di televisi tidak melulu didominasi kekerasan.


Monday, May 3, 2010

HARDIKNAS & Kualitas Pendidikan Nasional, Dari Sudut Pandang Orang Tua Siswa


Ki Hajar Dewantara, pendiri perguruan Taman Siswa, adalah sosok penting dalam tonggak perkembangan pendidikan di nusantara. Bagian dari semboyan yang diciptakannya "Tut Wuri Handayani" menjadi slogan dari Departemen Pendidikan Nasional (Wikipedia). Beliau pun sempat menduduki jabatan sebagai Menteri Pengajaran Indonesia (sekarang Menteri Pendidikan) pertama di masa kabinet pertama RI.

Kini, setelah kurun waktu 65 tahun Indonesia merdeka, benarkah dunia pendidikan Indonesia sudah selaras dengan tujuan mulia yang dulu dicita-citakan Ki Hajar Dewantara? Selintas pandang mungkin benar. Tengoklah dengan berjamurnya sekolah-sekolah baik Negeri atau Swasta yang berlomba-lomba meningkatkan predikatnya menjadi SBI, alias Sekolah Bertaraf Internasional. Hali ini dilandaskan pada peraturan pemerintah yang dituangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.“

Lalu, saat kita menyekolahkan anak-anak kita di sekolah berstandar khusus seperti RSBI dan SBI tersebut, adakah jaminan bahwa putra putri kita akan mendapatkan pendidikan yang terbaik mengingat konsep KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)nya bersifat bilingual alias dwibahasa dan jumlah siswa di kelas di bawah 30 siswa sehingga hampir bisa dipastikan pelajaran akan terserap dengan baik. Mengapa dikatakan hampir? Karena berdasarkan pengamatan awam penulis di sekolah (yang katanya) bertaraf internasional, bisa disimpulkan bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi.

Pertama, masih banyak tenaga pengajar terutama di sekolah Negeri yang tidak menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris. Sedangkan kelas Internasional menggunakan bilingual concept yang berarti bahasa pengantar utamanya adalah bahasa Inggris. Untuk sekedar bercakap-cakap dalam kehidupan sehari-hari saja para pengajar tersebut sudah kesulitan apalagi mengajarkan pelajarannya dalam bahasa asing tersebut. Itu baru dari sisi pengajar, bagaimana dengan para siswa yang notabene tidak dibesarkan dalam lingkungan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pergaulan. Sebagai akibatnya, fakta yang terjadi di lapangan: memahami Matematika dan IPA dalam bahasa Indonesia saja mereka kesulitan, bayangkan mempelajari kedua bidang studi tersebut menggunakan bahasa Inggris.

Kedua, pemerintah menggratiskan pendidikan dasar 9 tahun kecuali untuk sekolah RSBI dan SBI. Kemungkinan besar, hal inilah yang membuat sekolah-sekolah menjadi latah untuk meningkatkan mutu dan standarnya. Karena dengan meraih predikat RSBI & SBI, maka sekolah tersebut diijinkan memungut biaya yang kisarannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Sebagai akibatnya, para orang tua tidak memiliki banyak pilihan untuk memasukkan anaknya bersekolah di sekolah "gratis".

Ketiga, akibat berjamurnya RSBI & SBI, timbul asumsi di kalangan masyarakat luas bahwa sekolah bertaraf internasional hanya ditujukan (baca: mampu dijangkau) oleh mereka yang tingkat kecerdasannya di atas rata-rata (serta ketebalan dompet yang juga di atas rata-rata). Lalu apa sih bedanya sekolah yang bertaraf internasional dengan yang tidak? Jawabannya bisa disimpulkan dari lama jam belajar dan berapa banyak tugas/pekerjaan rumah yang diterima siswa. Mungkin bagi penggagas SNI (Standar Nasional Pendidikan), jawaban yang disampaikan bisa mencapai lebih dari puluhan lembar, namun di mata penulis sebagai kaum awam yang kebetulan pernah menjadi wali murid di sekolah bertaraf internasional, hanya kedua jawaban tersebutlah yang bisa disimpulkan.

Akhir kata, marilah kita sama-sama mendo'akan agar supaya pendidikan di negara kita tercinta berjalan semakin baik dan bukannya semakin kisruh karena yang menerima dampak langsungnya adalah para peserta didik, putra putri kita, yang sampai dengan saat ini masih dijadikan objek dan bukannya subjek dalam kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan Pendidikan Nasional.