Monday, May 3, 2010

HARDIKNAS & Kualitas Pendidikan Nasional, Dari Sudut Pandang Orang Tua Siswa


Ki Hajar Dewantara, pendiri perguruan Taman Siswa, adalah sosok penting dalam tonggak perkembangan pendidikan di nusantara. Bagian dari semboyan yang diciptakannya "Tut Wuri Handayani" menjadi slogan dari Departemen Pendidikan Nasional (Wikipedia). Beliau pun sempat menduduki jabatan sebagai Menteri Pengajaran Indonesia (sekarang Menteri Pendidikan) pertama di masa kabinet pertama RI.

Kini, setelah kurun waktu 65 tahun Indonesia merdeka, benarkah dunia pendidikan Indonesia sudah selaras dengan tujuan mulia yang dulu dicita-citakan Ki Hajar Dewantara? Selintas pandang mungkin benar. Tengoklah dengan berjamurnya sekolah-sekolah baik Negeri atau Swasta yang berlomba-lomba meningkatkan predikatnya menjadi SBI, alias Sekolah Bertaraf Internasional. Hali ini dilandaskan pada peraturan pemerintah yang dituangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.“

Lalu, saat kita menyekolahkan anak-anak kita di sekolah berstandar khusus seperti RSBI dan SBI tersebut, adakah jaminan bahwa putra putri kita akan mendapatkan pendidikan yang terbaik mengingat konsep KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)nya bersifat bilingual alias dwibahasa dan jumlah siswa di kelas di bawah 30 siswa sehingga hampir bisa dipastikan pelajaran akan terserap dengan baik. Mengapa dikatakan hampir? Karena berdasarkan pengamatan awam penulis di sekolah (yang katanya) bertaraf internasional, bisa disimpulkan bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi.

Pertama, masih banyak tenaga pengajar terutama di sekolah Negeri yang tidak menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris. Sedangkan kelas Internasional menggunakan bilingual concept yang berarti bahasa pengantar utamanya adalah bahasa Inggris. Untuk sekedar bercakap-cakap dalam kehidupan sehari-hari saja para pengajar tersebut sudah kesulitan apalagi mengajarkan pelajarannya dalam bahasa asing tersebut. Itu baru dari sisi pengajar, bagaimana dengan para siswa yang notabene tidak dibesarkan dalam lingkungan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pergaulan. Sebagai akibatnya, fakta yang terjadi di lapangan: memahami Matematika dan IPA dalam bahasa Indonesia saja mereka kesulitan, bayangkan mempelajari kedua bidang studi tersebut menggunakan bahasa Inggris.

Kedua, pemerintah menggratiskan pendidikan dasar 9 tahun kecuali untuk sekolah RSBI dan SBI. Kemungkinan besar, hal inilah yang membuat sekolah-sekolah menjadi latah untuk meningkatkan mutu dan standarnya. Karena dengan meraih predikat RSBI & SBI, maka sekolah tersebut diijinkan memungut biaya yang kisarannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Sebagai akibatnya, para orang tua tidak memiliki banyak pilihan untuk memasukkan anaknya bersekolah di sekolah "gratis".

Ketiga, akibat berjamurnya RSBI & SBI, timbul asumsi di kalangan masyarakat luas bahwa sekolah bertaraf internasional hanya ditujukan (baca: mampu dijangkau) oleh mereka yang tingkat kecerdasannya di atas rata-rata (serta ketebalan dompet yang juga di atas rata-rata). Lalu apa sih bedanya sekolah yang bertaraf internasional dengan yang tidak? Jawabannya bisa disimpulkan dari lama jam belajar dan berapa banyak tugas/pekerjaan rumah yang diterima siswa. Mungkin bagi penggagas SNI (Standar Nasional Pendidikan), jawaban yang disampaikan bisa mencapai lebih dari puluhan lembar, namun di mata penulis sebagai kaum awam yang kebetulan pernah menjadi wali murid di sekolah bertaraf internasional, hanya kedua jawaban tersebutlah yang bisa disimpulkan.

Akhir kata, marilah kita sama-sama mendo'akan agar supaya pendidikan di negara kita tercinta berjalan semakin baik dan bukannya semakin kisruh karena yang menerima dampak langsungnya adalah para peserta didik, putra putri kita, yang sampai dengan saat ini masih dijadikan objek dan bukannya subjek dalam kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan Pendidikan Nasional.

2 comments:

Anonymous said...

Menarik juga tulisannya....can i know u more further?

Kamboja Merah Muda said...

hmmm