Renungan untuk Para Pendidik .....
Kamboja Merah Muda
Friday, July 2, 2010
GENERASI MENTAL TEMPE!!!
Renungan untuk Para Pendidik .....
Friday, June 11, 2010
PETERPORN & Masyarakat Gaul (..atau Penghujat?..)
Saturday, June 5, 2010
Orangtua Tunggal
Single parent,
mungkin terdengar biasa di telinga kita,
tapi orangtua tunggal dari beberapa anak,
ok saya ralat, anak yang banyak ?
Bintang tamu acara Kick Andy yang saya tonton tadi malam sungguh istimewa,
tiga ibu tangguh dengan anak-anaknya yang sukses,
Ibu yang pertama, punya tujuh orang anak,
Ibu yang kedua, punya duabelas orang anak,
Ibu yang ketiga, punya limabelas anak.
Ada beberapa kesamaan yang menarik dari ketiga ibu tangguh itu,
Yang pertama, mereka sama-sama berhasil menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak-anaknya,
Kedua, mereka tak pernah menganggap anak-anak mereka sebagai beban.
Ketiga, semua anak-anaknya sukses menghadapi hidup dan menjadi orang yang berarti di masyarakat
Keempat, mereka tiga-tiganya adalah ibu rumahtangga, sebelum mengambil alih haluan rumahtangga setelah ditinggal suami.
Kelima, mereka tidak pernah terfikir untuk mencari suami pengganti suaminya yang meninggal dunia.
Keenam, anak-anak mereka bangga dengan orangtuanya, yang berhasil menanamkan nilai-nilai yang baik.
jadi,
bagi yang merasa hidup ini berat,
merasa rumahtangga begitu repotnya,
sesekali tak ada salahnya melihat orang-orang seperti mereka
hingga kita akhirnya bisa sadar,
kadang ada hal di dunia ini yang tak bisa dihitung dengan logika,
masih ada usaha,
masih ada do'a, tempat kita berharap pada Sang Pencipta
hal ini yang kadang kita lupa
Monday, May 10, 2010
GADIS PENGAMEN
Jam menunjukkan pukul tiga sore. Sudah tiba waktunya menjemput putriku yang sedang latihan basket di sekolahnya. Cuaca tampak mendung, sepertinya awan sudah tak kuat menahan titik-titik air diperutnya dan seolah tak sabar untuk menumpahkan air itu ke bumi. Tak urung mendung ini membuatku segan memanaskan motor guna menjemput putriku, karena kalau hujan benar-benar turun, bisa kupastikan jalanan menjadi sangat licin dan menyebabkan motor sulit untuk dikendalikan. Belum lagi kalau ada lubang di tengah jalan yang tak terlihat karena dipenuhi air hujan, bisa jadi sangat berbahaya bagi keselamatan pengendara. Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk berjalan keluar komplek dan naik kendaraan angkutan umum, yang lazim disebut angkot.
Tak lama sebuah angkot lewat didepanku. Aku segera mengacungkan jari telunjuk untuk menghentikannya. Saat akan menaikinya, aku sempat dilanda keraguan. Ada seorang gadis kecil yang sedang duduk di depan pintu angkot dan mengamen di sana. Gadis itu sempat menghalangi jalanku, untunglah si sopir angkot menegurnya untuk sedikit menepi, memberiku jalan masuk.
Entah karena kesal padaku, atau pada sopir angkot, atau keduanya, gadis kecil itu terlihat marah. Namun ia tak mengucapkan apa-apa dan segera melanjutkan nyanyiannya yang terputus. Rasa ingin tahu yang sulit dibendung segera merasuki benakku. Kedua mataku mulai tertuju padanya. Perlahan aku mulai mengamati gadis kecil itu dengan seksama.
Dari cara bicara dan sikap yang ditunjukkannya, aku menarik kesimpulan usianya berkisar antara enam sampai tujuh tahun walaupun harus kuakui tubuhnya terlalu kecil untuk anak seusia itu. Cara bicaranya lantang dan berani, hasil dari didikan jalanan yang keras dan tak kenal kasihan. Bajunya lusuh dan terlihat robek di beberapa bagian. Ia menyandang sebuah gitar kecil di bahunya. Gitar itupun sama lusuhnya dengan sang pemilik.
Gadis itu ternyata tidak sendirian. Ia ditemani seorang bocah laki-laki yang tak kalah lusuh dan kumalnya dari si gadis. Aku mengira usianya sekitar dua tahun karena ia bisa berjalan cukup lancar dan bisa mengucapkan beberapa patah kata dengan cukup jelas, walaupun, lagi-lagi, tubuhnya terlalu mungil untuk bocah seusianya. Anak laki-laki itu bertugas membantu si gadis kecil – kukira itu kakaknya – membagikan amplop kepada para penumpang sambil berharap mereka mengisinya dengan selembar uang kertas seribuan, atau recehan pun cukuplah. Anak lelaki itu tampak terhuyung-huyung berdiri di dalam mobil yang sedang berjalan, dan ia pun sempat terjatuh beberapa kali. Seorang ibu gendut yang duduk di pojok berusaha menolongnya duduk kembali. Sambil memegangi tangan si anak lelaki, ibu itu meminta si gadis kecil agar menyuruh adiknya berhenti membagikan amplop dan duduk dengan tenang. Si ibu itupun sempat berkata kepada beberapa penumpang lainnya – termasuk aku – agar tidak memberikan uang kepada kedua anak itu karena dirasa tidak mendidik. Akupun setuju dengan pendapat si ibu, karena menurutku berapa pun uang yang kami berikan, tak akan membuat si gadis kecil dan adiknya berhenti mengamen.
Tak dinyana si gadis kecil itu membalas perkataan ibu gendut dengan kata-kata yang pedas dan tidak pantas didengar. Kata-kata yang tak pernah kukira akan meluncur keluar dari bibir mungil seorang gadis kecil. Bahkan putriku yang berusia delapan tahun saja tak pernah berpikir untuk berkata seperti itu, mimpi pun tidak. Si ibu gendut yang juga sama terkejutnya seperti aku berusaha menasehati si gadis kecil. Tampak si ibu berusaha keras menahan amarahnya karena dikurangajari oleh seseorang yang berusia kurang dari seperempat umurnya. Ibu dan gadis kecil itu terlibat dalam perang mulut, sementara sang adik tampak keheranan melihat kakaknya tampak begitu beringas.
Cacian dan makian kotor yang terlontar dari bibir si gadis tak ayal membuat penumpang lain marah. Bahkan sopir pun menghentikan kendaraannya dan mengusir gadis itu keluar. Masya Allah, kehidupan macam apa yang dialami anak-anak itu sampai mereka bisa sekasar ini. Saat mobil mulai berjalan kembali, aku dan para penumpang lainnya masih sempat mendengar lanjutan sumpah serapahnya. Dan saat kami melihat ke arahnya melalui kaca belakang mobil, kami melihat pemandangan yang memilukan dan mengiris hati. Gadis kecil itu memuntahkan amarahnya kepada sang adik. Tangan dan gitarnya sempat beberapa kali mendarat di tubuh adiknya yang masih kecil itu. Si adik tampak meringis kesakitan namun tak berdaya melawan kakaknya. Tanpa sadar aku menitikkan airmata melihatnya. Berberapa penumpang lainnya – termasuk si ibu gendut tadi – juga tampak menahan tangis. Betapa trenyuh hati kami melihat anak-anak yang seharusnya ceria dan polos bisa bersikap layaknya preman jalanan. Di usia yang semuda ini mereka sudah sebrutal itu, bagaimana kalau mereka dewasa nanti? Ya Allah, lindungilah mereka.
Aku sangat menyayangkan kejadian ini walaupun hal ini lebih membuka mata hatiku akan penderitaan orang lain. Anak-anak jalanan itu terbiasa hidup keras. Saling berebut dan saling menjatuhkan adalah makanan sehari-hari. Mereka terbiasa dengan keyakinan bahwa segala sesuatu tak akan bisa didapat tanpa perjuangan yang berat. Adakah cara bagi kita untuk membantu mereka? Adakah cara bagi kita untuk menyadarkan mereka bahwa mereka tidak harus hidup di bawah hukum rimba? Semoga ini bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk kita agar kita lebih mensyukuri nikmat yang diberikan Allah dan mulai menaruh lebih banyak kepedulian terhadap sesama.
SI MBAH
Si Mbah. Begitulah kami memanggilnya. Tak seorang pun di komplek ini yang tahu nama aslinya. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Perawakannya kurus dan kecil, dengan kulit keriput termakan usia. Beliau tinggal bersama putra semata wayangnya di rumah kontrakan petak yang pengap dan selalu kebocoran setiap kali hujan deras turun. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan Naryo, putra tunggalnya yang sudah berumur dan masih bujang, adalah satu-satunya anak yang hidup di antara tujuh putra putrinya yang meninggal sesaat setelah mereka dilahirkan. Tak heran bila si Mbah begitu menyayangi dan keberatan melepaskannya berumah tangga sendiri. Lagi pula wanita mana yang mau bersuamikan seorang lelaki yang masih diperlakukan seperti bayi oleh ibunya.
Aku bertemu si Mbah pertama kali saat aku membeli sebuah rumah di sebelah rumahnya. Saat itu tak ada kesan apapun yang tertanam di otakku. Bagiku ia hanyalah salah satu dari jutaan manula yang ada di Jakarta ini. Yang membedakannya mungkin hanya kekuatan fisiknya yang sepertinya tak lekang dimakan waktu. Usia boleh tua, tangan pun boleh keriput. Toh, ia masih mampu mengangkut dua ember penuh berisi air di tangannya. Dan itu tak hanya dilakukannya sekali, tapi belasan atau mungkin puluhan kali dalam sehari. Karena tak ada sumur pompa dirumahnya, sehingga ia harus memenuhi kebutuhan air sehari-harinya dengan cara menimba di sumur umum yang terletak cukup jauh dari komplek kami.
Waktu itu aku sempat bertanya dalam hati, apa tak ada orang lain yang bisa membantunya. Sempat kulihat beberapa kali sang anak bersantai-santai di satu-satunya kursi yang ada di rumah itu sambil menikmati sepiring ubi goreng dan secangkir kopi panas sementara si ibu mencuci pakaian yang bertumpuk di samping rumah sambil sesekali mengangkut air yang dibutuhkannya untuk mencuci. Ingin aku bertanya pada si anak, mas Naryo, mengapa tak terbersit sedikit rasa kasihan melihat kesibukan ibunya, namun apa daya, aku tak mau dicap sebagai perempuan usil yang sok mengurusi dan mengatur hidup orang lain.
Meskipun rasa heran tak juga hilang dari hati, aku mencoba untuk memendam rasa penasaran ini. Aku bisa saja menggali informasi dari tetangga sekitar untuk memuaskan rasa penasaran ini, toh egoku mencegahnya. Tak ada gunanya, aku yakin suatu saat jawabannya akan muncul sendiri di hadapanku.
Aku tak perlu menunggu lama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini muncul di benakku tentang bagaimana sebetulnya hubungan antara ibu dan anak yang unik ini. Mungkin buat orang lain aku terdengar seperti mengada-ada dan seolah aku tak punya pekerjaan lain selain menghabiskan waktu untuk memikirkan kehidupan orang lain. Tapi aku memang tertarik untuk mengamati perilaku orang-orang di sekitarku, mencoba untuk memahami faktor apa yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil tindakan atas suatu masalah yang dihadapinya, dan bagaimana bentuk suatu hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Berdasarkan hasil pengamatanku selama bertahun-tahun aku bisa menentukan tipe-tipe sifat dan fisik orang yang aku temui dalam kehidupanku selama 25 tahun, tapi itu akan aku bahas nanti di lain waktu.
Kembali ke kehidupan si-Mbah. Saat itu bulan Desember. Hujan turun hampir setiap hari di wilayah ini. Kadang gerimis kecil sepanjang hari, tak jarang hujan lebat disertai petir yang menyapa daerah ini. Tak heran, dalam waktu singkat beberapa rumah tampak kepayahan menahan terpaan hujan dan angin yang menderu tak henti. Termasuk rumah si-Mbah yang mulai bocor atapnya di sana sini. Letak rumahnya yang rendah menjadi sasaran potensial banjir yang menjadi langganan di wilayah ini setiap musim hujan tiba. Kesadaran manusia yang semakin berkurang atas perlunya resapan air dan membuang sampah di tempatnya menjadi faktor utama yang membuat banjir senang menyapa negara tercinta ini.
Di suatu malam yang dingin, hujan turun amat deras seperti tertumpah dari langit. Rumah si-Mbah tergenang air sampai ke lutut. Aku sempat berpikir untuk menolongnya ketika kulihat tangan-tangan keriputnya tampak kepayahan membuang berember-ember air yang menggenangi rumahnya, tapi kondisi hujan angin dan petir yang menyambar-nyambar di luar sana memadamkan semangat menolong sesama yang sempat menyala di hatiku. Kedengarannya seperti egois, tapi aku tak mungkin mengorbankan diri demi sesuatu hal yang jelas akan membawa dampak buruk bagi kesehatanku. Apalagi aku menderita sejenis alergi kulit yang biasa disebut biduran, aku tak tahu nama medisnya. Yang aku tahu, rasa gatal yang perih dan bengkak merah akan segera menghampiriku bila aku terkena hawa dingin. Penyakit ini adalah satu hal menjengkelkan yang menyebabkan aku tidak bisa berenang dan membuatku terpaksa menerima nilai 6 di rapor SMA untuk pelajaran olahraga!
Tak berapa lama terdengar ketukan berkali-kali di pintu rumahku. Dengan rasa ingin tahu yang membuncah, aku mengintip dari balik korden untuk melihat siapa yang berani bertamu di tengah malam yang sedingin disertai hujan lebat seperti ini. Dugaanku benar, ternyata si-Mbah yang mengetuk. Ia meminta tolong padaku dan suamiku sebagai tetangga terdekat untuk membantunya mengeringkan air di rumahnya. Aku rasa kekuatan tenaganya sudah mulai berkurang. Melihat kondisinya yang basah kuyup dan nampak kelelahan mau tak mau menyalakan rasa empati yang tadi sempat padam saat kuingat penyakit celaka itu. Aku dan suami segara bergegas keluar dan membantunya.
Kesibukan kami melawan banjir deras yang sepertinya tidak mau meninggalkan rumah si-Mbah membuatku lupa menanyakan keberadaan mas Naryo, putra si-Mbah satu-satunya. Setelah berjuang habis-habisan selama tiga jam kami akhirnya berhasil mengalahkan banjir yang sempat memporak-porandakan isi rumah si-Mbah. Banjir memang sudah pergi, tapi pekerjaan lain yang tak kalah menguras tenaga terbayang di pelupuk mataku. Apalagi kulihat suamiku sudah mulai menurun staminanya. Maklum, ia baru saja pulang kantor jam 8 malam tadi, dan ia belum sempat beristirahat. Berbekal rasa kemanusiaan di hati yang semakin melemah karena kelelahan, kami mencoba menyelesaikan pekerjaan membereskan barang-barang yang berserakan.
Puji Tuhan semuanya selesai beberapa saat kemudian. Aku dan suami teringat kasur empuk di rumah yang pasti akan menyambut tubuh kami yang keletihan ini untuk berbaring di atasnya. Segera kami meminta diri pada si-Mbah sambil tak lupa berjanji bahwa esok pagi kami akan membantunya membenahi atap dan genteng rumahnya yang bocor. Saat berpamitan aku teringat mas Naryo, hal ini membuatku tanpa ragu menanyakan keberadaannya pada si-Mbah. Dan jawabannya sungguh di luar perkiraanku. Aku mengira mas Naryo sedang lembur di pabrik kayu tempatnya bekerja, karena tak tampak kulihat batang hidungnya selama empat jam aku dan suami berada di rumah si-Mbah. Ternyata anak kesayangan si-Mbah itu tengah tertidur pulas di kamarnya. Si-Mbah tak tega membangunkannya, karena sang putra tersayang tampak kelelahan sepulang bekerja, walaupun sang putra tersayang ini sudah tertidur dari jam enam sore. Si-Mbah tak tega membangunkan dan menyuruh sang anak untuk membantunya, tapi beliau sangat tega meminta tetangganya-dalam hal ini aku dan suami- yang jelas-jelas tidak seharusnya bertanggung jawab untuk mengatasi kekacauan di rumahnya akibat banjir selama empat jam! Apalagi si-Mbah juga tahu kalau suamiku baru saja pulang kerja.
Dengan menahan marah dan jengkel aku berpamitan pulang. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menyemburkan amarah yang siap meledak mengingat tidak etis rasanya memarahi orang yang usianya jauh di atas kita walaupun kita memiliki cukup alasan untuk melakukannya.
Keesokan harinya aku berbagi cerita pada mbak Rosa, salah satu tetanggaku yang kurasa cukup bijak dalam bertindak dan sudah tinggal cukup lama di komplek ini, sehingga aku yakin mbak Rosa pasti tahu banyak mengenai sifat orang-orang sekitar sini dan cara menghadapinya.
Di luar dugaanku, mbak Rosa tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Alih-alih merasa prihatin, ia malah tertawa berderai-derai tanpa henti. Melihat wajahku yang tampak bingung, ia mencoba berhenti tertawa dan tampak berpikir keras mengenai kata-kata yang ingin diucapkannya padaku. Berdasarkan informasi yang berhasil aku gali dari mbak Rosa di sela-sela tawanya yang masih belum berhenti, aku menarik kesimpulan bahwa aku adalah korban si-Mbah yang kesekian. Si-Mbah memang selalu berhasil membuat oang-orang menaruh iba padanya, terutama orang yang belum kenal cukup lama dengannya. Berbekal penampilan fisik dan tutur kata yang mengibakan, si-Mbah bisa mendapatkan bantuan baik jasa maupun materi dari siapapun yang ia temui. Hampir setiap hari si-Mbah memperoleh uang dan juga makanan dari orang-orang di sekelilingnya. Apalagi saat hari Lebaran tiba, saat itu bagaikan masa panen bagi si-Mbah. Bertumpuk-tumpuk pakaian jadi, kain, kue, biskuit, buah, lauk pauk, dan tentunya uang tunai diterimanya. Tapi itu dulu, saat orang-orang belum menyadari bahwa bantuan dan keikhlasan hati mereka yang tulus dimanfaatkan oleh si-Mbah dan putranya. Terlebih lagi saat mereka tahu bahwa si-Mbah tanpa segan meminta mereka memberikan bantuan yang sesungguhnya bisa diatasi sendiri oleh putranya, seperti misalnya meminta uang untuk berobat ke dokter, membetulkan genteng bocor, mengganti bola lampu yang padam, dan berbagai hal lainnya. Dan si-Mbah selalu memberikan alasan yang sama setiap kali orang bertanya mengapa ia tidak meminta bantuan dari sang anak saja, ia tak tega sang putra tersayang melakukan pekerjaan remeh temeh setelah seharian bekerja keras di luar sana. Ia merasa bahwa orang lain harus ikut bertanggung jawab atas kesulitan hidup yang ia dan anaknya alami selama ini.
Mungkin ini hanyalah salah satu penggalan cerita kehidupan yang belum bisa aku pahami sampai saat ini. Sebagai seorang pengamat kehidupan – begitulah aku menyebut diriku – aku merasa ini adalah salah satu misteri hidup yang belum aku temukan jawabannya. Tapi kesimpulan yang aku bisa ambil dari sketsa kehidupan ini adalah bahwa seseorang bisa menjadi sangat egois untuk melindungi sesuatu yang disayanginya.