Wednesday, April 28, 2010

Kisah Rara

Jam baru menunjukkan pukul 9 pagi. Dan aku sudah terjebak di sini, di sudut pantry ditemani segelas teh hijau hangat dan sebungkus gorengan buatan Mbak Titi, penjual gorengan langganan temanku Rara, yang sedang menyanderaku, memaksaku mendengarkan kisah rumah tangganya yang, bisa ditebak, ngga mungkin singkat padat dan jelas.
"Kamu tau Ty, aku capek ngejalanin semuanya ini," Rara memulai omelannya dengan terus mengunyah sepotong tahu goreng.
"Aku ini wanita pekerja yang juga harus mengurus dua anak lelakiku dengan baik. Aku ngga mungkin bisa mengabaikan mereka seperti wanita karir lainnya. Setiap pagi aku masih usahakan bangun jam 4 pagi dan menyiapkan sarapan serta bekal mereka, sore pun sepulang kerja aku masih menyiapkan makan malam ....," lanjut Rara sambil terus mengunyah. Ku lirik bungkusan gorengan di atas meja, sepertinya isinya tinggal separo, ah mungkin kalau gorengannya habis omelan Rara pun ikut habis, harapku dalam hati.

"Memangnya ngga ada pembantu, Ra?" tanyaku.
"Ada sih, tapi anak-anak ngga cocok sama masakannya. Jadi aku ini benar-benar multifungsi ... seperti yang di iklan itu, ya jadi ibu, guru les, koki, konseling alias tempat curhat, perawat bila ada yang sakit, juga wanita penghibur buat suami."
"Suamimu kemana Ra? apa dia ngga pernah bantu kamu?"
"Apa?? Suamiku?? .." lengkingan Rara mencapai 7 oktaf.
"Suamiku itu super sibuk Ty. Dia keluar kota terus. Kalaupun di rumah dia selalu pulang malam. Menghabiskan waktu di cafe bersama teman-temannya sambil tunggu macet katanya ...huh macet kog ditunggu," jawabnya kesal.
"Sabar Ra, yang penting berusahalah ikhlas, cuma itu yang bisa membuat segalanya terasa lebih ringan ..," saranku sok tau.
"Itu dia masalahnya Ty, sepertinya aku bukan ibu dan istri yang baik. Aku selalu mencoba untuk ikhlas, tapi ngga bisa ... aku seperti terjebak di sini ..."

Penulis terharu mendengarnya. Dan ini bukan pertama kalinya penulis mendengar curhatan yang sama dari orang yang berbeda. Menjadi seorang istri, apalagi ibu, tidaklah mudah. Kita harus selalu siap sedia mengorbankan waktu dan kepentingan pribadi untuk keluarga. Dan kita, para wanita, tidak boleh mengeluh karena itu sudah merupakan kewajiban. Terlebih lagi bagi umat muslim, wanita yang mulia dipastikan adalah wanita yang ikhlas menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Jadi seandainya tanpa disadari terlontar keluhan dari bibir kita, maka norma agama dan masyarakat akan menganggap itu tidak pantas.
Ada satu post menarik di Vivanews. Beberapa selebriti luar negeri seperti Renee Zelwegher (betul ngga sih tulisannya), Cameron Diaz, dll memutuskan untuk tidak akan pernah menjadi ibu. Mereka tidak masalah akan ikatan pernikahan, namun berkata tidak untuk memiliki anak. Mereka tak mau hidup yang singkat dihabiskan untuk mengurus orang lain. Malah Renee sempat berkata bahwa anak adalah diktator sesungguhnya. Pastinya seorang ibu tidak akan menolak melakukan apa yang diinginkan si anak terutama bila si anak masih begitu belia.
Lalu pantaskah para selebriti ini bersikap seperti itu? Dilihat dari berbagai sudut pandang pastilah muncul banyak persepsi yang berbeda. Di satu sisi mungkin mereka dianggap melecehkan kodrat sebagai ibu (terlihat dari berbagai komentar pedas yang masuk). Namun menurut penulis pribadi tak ada salahnya bersikap jujur seperti mereka. Rasanya pasti jauh lebih lepas ketimbang harus menahan perasaan dengan berpura-pura menikmati peran sebagai ibu dan istri yang baik.
Membesarkan seorang anak dalam kehidupan berkeluarga membutuhkan peran dari dua belah pihak, ayah dan ibu. Lalu bagaimana bila hanya salah satu pihak yang dominan? Apa yang terjadi bila si ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai harus keluar kota berhari bahkan berminggu-minggu lamanya? Apa semua harus ditanggung pihak ibu? Seyogyanya bila kedua peran tersebut berjalan seimbang penulis percaya tak akan ada Rara-Rara lain yang mengeluhkan hal yang sama.
So ...., untuk para pasangan yang berencana memiliki momongan, harus diingat bahwa kita tidak hanya perlu mempersiapkan materi demi masa depan si buah hati, namun juga mental. Kita harus siap menjalani hidup dengan sebagian waktu tersita, pun kita harus siap berbagi peran. Hal yang terakhir ini sangat perlu ditegaskan, agar kedua belah pihak sama-sama menyadari tanggung jawab dalam membesarkan si kecil.