Thursday, April 29, 2010

Sabar ya, Lani (Kisah Lani)

"Ty .... gw mo curhat nih, gw ngga bs tidur," Begitu bunyi sms yang penulis terima dari Lani. Hampir jam 9 malam, rasanya mata ini sudah mau terpejam. Tapi ... yah, tidak ada salahnya mendengar curhat Lani sebentar, who knows dengan sekedar mendengarkan penulis bisa sedikit membantu mengatasi masalahnya.

Lani sudah berkeluarga dengan tiga anak yang manis. Belakangan ini suami Lani dipercaya menduduki jabatan yang lebih tinggi di kantornya. Sebagai konsekuensinya, tak hanya gaji yang meningkat namun tanggung jawab pun semakin berat. Tugas keluar kota berhari - hari pun mulai diakrabinya.

Awalnya semua berjalan lancar sampai tiba suatu saat di sebuah kota S. Saat itu suami Lani (sebut saja namanya Andi) merasa pegal-pegal akibat perjalanan jauh. Andi pun berencana untuk pergi ke pijat reflexi. Ternyata teman-teman yang mendengar rencana Andi mencoba untuk mengerjai-nya (ini menurut versi Andi lho). Andi dan teman-temannya pergi ke sebuah panti pijat yang lux yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti restaurant, salon, dan sauna, tak ketinggalan, penginapan. Sesampainya di sana Andi dkk diminta mengganti pakaian dengan piyama lalu di antar ke sebuah kamar pijat tertutup yang nyaman di mana di sana sudah menunggu seorang
massage girl yang cantik.

Semula Andi betul-betul di massage selama kurang lebih 45 menit. Setelah selesai sang massage girl meminta Andi membuka piyamanya. Andi sempat terkejut namun si gadis menjelaskan ini adalah paket yang dipilih salah satu teman pak Andi. Kita masih punya waktu satu jam dan terserah anda mau dihabiskan untuk apa. (Sampai di sini rasanya kita tau sisa waktu itu untuk apa ...). Namun demi langit, bumi, samudera, topan, badai, dll ... Andi bersumpah pada istrinya bahwa ia tidak melakukan hal apapun yang melanggar komitmen perkawinannya. Rasanya sulit dipercaya masih ada pria yang mampu menahan iman dan godaan di sebuah ruangan tertutup berduaan dengan seorang wanita cantik tanpa melakukan apapun kecuali sekedar ngobrol dan minum orange juice. Tapi dalam pengadilan saja dikenal azas praduga tak bersalah, jadi Lani menerimanya dengan besar hati. Walaupun penulis merasa sedikit gemas dengan kepasrahan Lani.

Dengan berlalunya waktu kisah Andi dan massage girl-nya pun terlupakan.Kali ini Andi bertugas ke kota B. Di sini Andi menghabiskan waktu selama sepuluh hari. Seperti biasa semua berjalan lancar pada awalnya. Di hari ketiga Lani mulai kesulitan menghubungi suaminya. Berkali-kali telpon, sms, email dan message di facebook pun tidak direspon. Sampai akhirnya sekitar jam 9 malam Andi mengabari ia sedang berada di pulau L, tak jauh dari kota B. Salah satu kliennya akan pergi keluar negeri dan mengadakan "pesta perpisahan" sambil menginap di salah satu cottage di pulau ini. Andi hanya bilang sinyal hp begitu tak stabil dan akan mencoba menghubungi lagi esok hari. Walaupun selama usia perkawinannya belum sekalipun Andi mengajaknya berlibur, toh Lani merasa cukup senang dan larut dalam kegembiraan Andi.

Esok harinya Andi menepati janjinya. Ia sedang berlibur ber-snorkeling- ria di sebuah pantai. Tak disebutkan siapa dan berapa orang dalam rombongan tersebut. Beberapa hari kemudian saat Lani membuka facebook-nya ia mendapati di item notification tertulis sang suami memberi komentar di status seorang gadis bernama Anita. Terbersit rasa ingin tahu di hati Lani karena selama ini teman-teman facebook suaminya juga menjadi temannya karena mereka dulu kuliah di tempat yang sama. "Kog aku ngga di ajak liat dolphin, gitu ya kamu," begitu komentar dari Andi. Setelah ditelusuri lebih jauh ternyata Anita juga pergi ke tempat yang sama dengan Andi. Alhasil Lani mulai dilanda curiga.

Lani mencoba meminta keterangan Andi apakah betul ada wanita yang menginap dalam rombongan Andi. Andi mengiyakan, malah ia bilang ada dua wanita, keduanya staf salah satu kliennya. Namun Andi tak menjelaskan mereka menginap di cottage yang sama atau tidak. Saat Lani mulai marah, Andi hanya bilang: "Nanti kalau dikasih tau kamu nangis lagi, ngga usah lebay deh." Ya ampun .... Halloooowwwww ..... apa sih yang ada di otak Andi? Bukannya menenteramkan hati si istri malah terkesan menyalahkannya.

Saat kecemburuan dan perhatian sang istri ditumpahkan malah semuanya dianggap berlebihan. Sekali lagi, penulis dibuat gemas akan kehidupan pernikahan pasangan ini. Sepertinya sang istri bertepuk sebelah tangan, toh perhatian dan keikhlasannyanya selama ini terkesan mengekang gerak si suami. Lalu, seperti syair salah satu lagu .... Mau di bawa kemana hubungan kita? Sampai berapa lama ya Lani mampu bertahan bila setiap kali pergi keluar kota selalu ada kejutan-kejutan kecil yang alih-alih menyenangkan justru terasa sangat menyakitkan? Kalau sudah begini, sulit rasanya percaya bila pernikahan itu membahagiakan. Well, I just can say: Sabar ya, Lani ...

Wednesday, April 28, 2010

Kisah Rara

Jam baru menunjukkan pukul 9 pagi. Dan aku sudah terjebak di sini, di sudut pantry ditemani segelas teh hijau hangat dan sebungkus gorengan buatan Mbak Titi, penjual gorengan langganan temanku Rara, yang sedang menyanderaku, memaksaku mendengarkan kisah rumah tangganya yang, bisa ditebak, ngga mungkin singkat padat dan jelas.
"Kamu tau Ty, aku capek ngejalanin semuanya ini," Rara memulai omelannya dengan terus mengunyah sepotong tahu goreng.
"Aku ini wanita pekerja yang juga harus mengurus dua anak lelakiku dengan baik. Aku ngga mungkin bisa mengabaikan mereka seperti wanita karir lainnya. Setiap pagi aku masih usahakan bangun jam 4 pagi dan menyiapkan sarapan serta bekal mereka, sore pun sepulang kerja aku masih menyiapkan makan malam ....," lanjut Rara sambil terus mengunyah. Ku lirik bungkusan gorengan di atas meja, sepertinya isinya tinggal separo, ah mungkin kalau gorengannya habis omelan Rara pun ikut habis, harapku dalam hati.

"Memangnya ngga ada pembantu, Ra?" tanyaku.
"Ada sih, tapi anak-anak ngga cocok sama masakannya. Jadi aku ini benar-benar multifungsi ... seperti yang di iklan itu, ya jadi ibu, guru les, koki, konseling alias tempat curhat, perawat bila ada yang sakit, juga wanita penghibur buat suami."
"Suamimu kemana Ra? apa dia ngga pernah bantu kamu?"
"Apa?? Suamiku?? .." lengkingan Rara mencapai 7 oktaf.
"Suamiku itu super sibuk Ty. Dia keluar kota terus. Kalaupun di rumah dia selalu pulang malam. Menghabiskan waktu di cafe bersama teman-temannya sambil tunggu macet katanya ...huh macet kog ditunggu," jawabnya kesal.
"Sabar Ra, yang penting berusahalah ikhlas, cuma itu yang bisa membuat segalanya terasa lebih ringan ..," saranku sok tau.
"Itu dia masalahnya Ty, sepertinya aku bukan ibu dan istri yang baik. Aku selalu mencoba untuk ikhlas, tapi ngga bisa ... aku seperti terjebak di sini ..."

Penulis terharu mendengarnya. Dan ini bukan pertama kalinya penulis mendengar curhatan yang sama dari orang yang berbeda. Menjadi seorang istri, apalagi ibu, tidaklah mudah. Kita harus selalu siap sedia mengorbankan waktu dan kepentingan pribadi untuk keluarga. Dan kita, para wanita, tidak boleh mengeluh karena itu sudah merupakan kewajiban. Terlebih lagi bagi umat muslim, wanita yang mulia dipastikan adalah wanita yang ikhlas menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Jadi seandainya tanpa disadari terlontar keluhan dari bibir kita, maka norma agama dan masyarakat akan menganggap itu tidak pantas.
Ada satu post menarik di Vivanews. Beberapa selebriti luar negeri seperti Renee Zelwegher (betul ngga sih tulisannya), Cameron Diaz, dll memutuskan untuk tidak akan pernah menjadi ibu. Mereka tidak masalah akan ikatan pernikahan, namun berkata tidak untuk memiliki anak. Mereka tak mau hidup yang singkat dihabiskan untuk mengurus orang lain. Malah Renee sempat berkata bahwa anak adalah diktator sesungguhnya. Pastinya seorang ibu tidak akan menolak melakukan apa yang diinginkan si anak terutama bila si anak masih begitu belia.
Lalu pantaskah para selebriti ini bersikap seperti itu? Dilihat dari berbagai sudut pandang pastilah muncul banyak persepsi yang berbeda. Di satu sisi mungkin mereka dianggap melecehkan kodrat sebagai ibu (terlihat dari berbagai komentar pedas yang masuk). Namun menurut penulis pribadi tak ada salahnya bersikap jujur seperti mereka. Rasanya pasti jauh lebih lepas ketimbang harus menahan perasaan dengan berpura-pura menikmati peran sebagai ibu dan istri yang baik.
Membesarkan seorang anak dalam kehidupan berkeluarga membutuhkan peran dari dua belah pihak, ayah dan ibu. Lalu bagaimana bila hanya salah satu pihak yang dominan? Apa yang terjadi bila si ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai harus keluar kota berhari bahkan berminggu-minggu lamanya? Apa semua harus ditanggung pihak ibu? Seyogyanya bila kedua peran tersebut berjalan seimbang penulis percaya tak akan ada Rara-Rara lain yang mengeluhkan hal yang sama.
So ...., untuk para pasangan yang berencana memiliki momongan, harus diingat bahwa kita tidak hanya perlu mempersiapkan materi demi masa depan si buah hati, namun juga mental. Kita harus siap menjalani hidup dengan sebagian waktu tersita, pun kita harus siap berbagi peran. Hal yang terakhir ini sangat perlu ditegaskan, agar kedua belah pihak sama-sama menyadari tanggung jawab dalam membesarkan si kecil.